STRESS KERJA
1.
Pengertian
a. Menurut
Morgan dan King
Stress adalah suatu keadaan yang
bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau
lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol.
b. Menurut
Cooper dan Hanger
Stress juga didefinisikan sebagai
tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan
fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subjek
(Cooper, 1994).
Menurut Hanger (1999), stress sangat
bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak nila tidak ada
keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya
c. Stress
adalah satu abstraksi
Menurut Dr. Hans Selye, guru besar
emiritus (purnawirawan) dari Universitas Montreal dan “penemu” stress. Ia
tertarik pada bagaimana cara stress mempengaruhi badan. Ia mengamati
serangkaian perubahan biokimia dalam sejumlah organisme yang beradaptasi
terhadap berbagai macam tuntutan
lingkungan. Rangkaian perubahan ini ia namakan general adaptation syndrome yang terdiri dari tiga tahap. Tahap
Pertama, ia namakan tahap ‘alarm’ (tanda
bahaya). Organisme berorientasi terhadap tuntutan yang diberikan oleh
lingkungannya dan mulai menghayatinya sebagai ancaman, tahap ini tidak dapat
tahan lama. Organisme memasuki Tahap Kedua, tahap resistance (perlawanan), organisme memobilisasi sumber-sumbernya
supaya mampu menghadapi tuntutan, jika tuntutan berlangsung lama maka
sumber-sumber penyesuaian ini mulai habis dan organisme mencapai tahap terakhir,
yaitu tahap exhaustion (kehabisan tenaga).
Jika diterapkan pada orang, maka sindrom
adaptasi umum dari Selye dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut:
Jika seseorang untuk pertama kali mengalami situasi penuh stress,
maka mekanisme pertahanan dalam badan diaktifkan: kelenjar-kelenjar
mengeluarkan/ melepaskan adrenalin, cortisone
dan hormon-hormon lain dalam jumlah yang besar, dan perubahan-perubahan
yang terkoordinasi berlangsung dalam sistem saraf pusat (tahap alarm). Jika exposure
(paparan) terhadap pembangkit stress bersinambung dan badan mampu menyesuaikan,
maka terjadi perlawanan terhadap sakit. Reaksi badaniah yang khas terjadi untuk
menahan akibat-akibat dari pembangkit stress (tahap resistance). Tetapi jika
paparan terhadap stress berlanjut, maka mekanisme pertahanan badan secara
perlahan-lahan menurun sampai menjadi
tidak sesuai, dan satu dari organ-organ gagal untut berfungsi sepatutnya.
Proses pemeunduran ini dapat mengarah ke penyakit dari hampir semua bagian dari
badan (tahap exhaustion).
Menurut Seyle jika reaksi badan tidak
cukup, berlebihan atau salah, maka reaksi
badan itu sendiri dapat menimbulkan penyakit. Hal ini dinamakan diseases of adaptation (penyakit dari
adaptasi), karena penyakit-penyakit tersebut lebih disebabkan oleh reaksi
adaptif yang kacau dari badan kita dari pada oleh hasil yang merusak langsung
dari penimbul stress. Misalnya gastrointestinal
ulcers (puru/nanah dari perut), tekanan darah tinggi, penyakit jantung (cardiac incidents), alergi, dan berbagai
jenis kekacauan /gangguan mental. Syndrome
adaptasi umum ini dapat beroperasi pada tingkat yang berbeda-beda, dari
subsistem sampai keseluruhan organisme.
Pandangan Selye ini mendapat kritik dari
sejumlah penelitian. Stress menurut mereka tidak dapat dipandang hanya sebagai
suatu jawaban. Stress harus dilihat sebagai fungsi dari individu yang
menafsirkan situasi. Reaksi orang tidak sama
terhadap situasi stress yang sama. Orang tidak memberikan jawaban
langsung terhadap rangsang, tetapi terhadap arti yang diberikan kepada
rangsang. Contoh : orang tidak langsung minum kalau melihat gelas yang berisi
cairan. Jika gelas berisi cairan yang tidak bermakna baginya, maka ia
membiarkan gelas tersebut. Dan jika ia rasakan bermakna gelas berisi cairan
tersebut, misalnya dia haus, atau ia mengira cairan itu cairan air dingin yang
ia senangi, maka ia akan mengambil gelas tersbut dan meminumnya.
Penelitian sekarang tentang stress
didasarkan pada asumsi bahwa stress, yang disimpulkan dari gejala-gejala dan
tanda-tanda perilaku, psikologikal, dan somatik adalah hasil dari tidak/kurang
adanya kecocokan antar orang (dalam arti kepribadiannya, bakatnya dan
kecakapannya) dan lingkungannya, yang mengakibatkan ketidakmampuannya untuk
menghadapi berbagai tuntutan terhadap dirinya secara efektif (Fincham &
Rhodes,1988).
Pada umunya kita merasakan bahwa stress
merupakan suatu kondisi yang negatif, suatu kondisi yang mengarah timbulnya
penyakit fisik ataupun mental, atau yang mengarah keperilaku yang tidak wajar.
Selye membedakan antara distress, yang
destruktif dan eustress, yang
merupakan kekuatan yang positif (eustress
mengandung suku awal yang dalam bahawa yunani berarti ‘baik’, seperti yang
terdapat dalam kata euphoria). Stress diperlukan untuk menghasilkan prestasi yang
tinggi.
Makin tinggi dorongannya untuk
berprestasi, makin tinggi tingkat stressnya dan tinggi juga produktivitas dan
efisiennya. Stress dalam jumlah
tertentu dapat mengarah ke
gagasan-gagasan yang inovatif dan keluaran yang konstruktif. Jika orang terlalu
ambisius, memiliki dorongan kerja yang besar atau jika beban kerja menjadi berlebih, tuntutan
pekerjaan tinggi, maka unjuk-kerja menjadi rendah lagi. Stess menguras
kesehatan orangnya, kekuatannya. Tanda-tanda beban mulai berlebihan ialah
mudah tersinggung, kelelahan fisikal dan mental, ketidaktegasan,
hilangnya obyektivitas, kecendrungan berbuat salah, kekhilafan dalam ingatan,
dan hubungan interpersonal yang tegang.
Stress yang meningkat sampai unjuk-kerja
mencapai titik optimalnya merupakan stress yang baik, yang menyenangkan, eustress. Dekat, sebelum mencapai titik
optimalnya, peristiwanya atau situasinya dialami sebagai tantangan yang
merangsang. Melewati titik optimal stress menjadi distress, peristiwanya atau situasinya dialami sebagai ancaman yang
mencemaskan.
Meskipun sebab-sebab stress adalah
khusus (misalnya teguran dari atasan, pertengkaran dengan istri, masalah keuangan) dan hasil dari stress juga khusus
(misalnya sakit perut, sakit kepala, serangan jantung, tekanan darah tinggi)
tidak ada sebab khusus yang menghasilkan hasil khusus. Dengan kata lain tidak
ada hubungan langsung antara suatu faktor stress dan suatu dari badan yang
tidak berfungsi baik.
Untuk kebanyakan orang, stress tidak
cepat menyebabkan sakit keras. Stress diungkapkan melalui gejala-gejala umum,
seperti somnabulisme (tidak dapat tidur), merokok berat, peminum minuman keras,
khawatir, mudah tersinggung, gelisah, sulit berkonsentrasi dalam pengambilan
keputusan, dan masa-masa lelah yang panjang. Keadaan ini bagi seseorang dapat
menghasilkan penurunan dalam unjuk-kerjanya, bagi orang lain hanya sampai dapat
dirasakan sebagai gangguan bagi orang lain disekitarnya.
Everly dan Girdano (1980) mengajukan
daftar ‘tanda-tanda dari adanya distress’.
Menurut mereka, stress akan mempunyai dampak pada suasana hati (mood), otot kerangka(musculoskeletal) dan organ-organ dalam (visceral).
Tanda-tanda adanya distress-nya ialah sebagai berikut :
1. Tanda-tanda
suasana hati (mood) :
-
Menjadi overexcited
-
Cemas
-
Merasa tidak pasti
-
Sulit tidur pada malam
hari (somnabulisme)
-
Menjadi mudah bingung
dan lupa
-
Menjadi sangat tidak
enak (uncomfortable) dan gelisah (ill at ease)
-
Menjadi gugup (nervous)
2. Tanda-tanda
otot kerangka (musculoskeletal) :
-
Jari-jari dan tangan
gemetar
-
Tidak dapat duduk diam
atau berdiri ditempat
-
Mengembangkan tic (gerakan tidak sengaja)
-
Kepala mulai sakit
-
Merasa otot menjadi
tegang dan kaku
-
Menggagap jika
berbicara
-
Leher menjadi kaku
3. Tanda-tanda
organ dalam badan (visceral)
-
Perut terganggu
-
Merasa jantung berdebar
-
Banyak berkeringat
-
Tangan berkeringat
-
Merasa kepala ringan
atau akan pingsan
-
Mengalami kedinginan (cold chills)
-
Wajah menjadi panas
-
Mulut menjadi kering
-
Mendengar bunyi
berdering dalam kuping
-
Mengalami rasa akan
tenggelam dalam perut (sinking feeling)
2.
Pembangkit
Stress (Stressors)
Setiap aspek dipekerjaan dapat
menjadi pembangkit stress. Tenaga kerja yang menetukan sejauh mana situasi yang
dihadapi merupakan situasi stress atau tidak. Tenaga kerja dalam interaksinya
dipekerjaan, dipengaruhi pula oleh hasil interaksinya ditempat lain, dirumah,
disekolah, diperkumpulan,dan sebagainnya. Sumber stress yang menyebabkan
seseorang tidak berfungsi optimal atau yang menyebabkan orang jatuh sakit,
tidak saja datang dari satu macam pembangkit stress saja tetapi dari beberapa
pembangkit stress. Sebagian besar dari waktu manusia bekerja. Karena itu
lingkungan pekerjaan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kesehatan seseorang
yang bekerja. Pembangkit stress di pekerjaan merupakan pembangkit stress yang
besar perannya terhadap kurang berfungsinya atau jatuh sakitnya seseorang
tenaga kerja yang bekerja.
Faktor-faktor di pekerjaan yang
berdasarkan penelitian dapat menimbulkan stress dapat dikelompokan kedalam lima
kategori besar, yaitu faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, peranan dalam
organisasi, pengembangan karier, hubungan dalam pekerjaan, serta struktur dan
iklim organisasi. (hurrell,dkk.1988).
2.1
Faktor-faktor intrinsik
dalam pekerjaan
Termasuk
dalam kategori ini ialah tuntutan fisik dan tuntutan tugas. Tuntutan fisik
meliputi : bising, vibrasi, hygiene. Sedangkan
faktor-faktor tugas mencakup : kerja shift/kerja malam, beban kerja, dan
penghayatan dari risiko bahaya.
a. Tuntutan
Fisik
Kondisi kerja tertentu dapat
menghasilkan prestasi kerja yang optimal. Disambing dampaknya terhadap prestasi
kerja, kondisi kerja fisik memiliki dampak juga terhadap kesehatan mental dan
keselamatan kerja seorang tenaga kerja. Kondisi fisik kerja mempunyai pengaruh
terhadap kondisi faal dan psikologis diri seseorang tenaga kerja. Kondisi fisik
dapat merupakan pembangkit stress (stressor)
Bising:
bising selain dapat menimbulkan gangguan sementara atau tetap pada aalt
pendengaran kita, juga dapat merupakan
sumber stress yang menyebabkan
peningkatan dari kesiagaan dan ketidakseimbangan psikologis kita. Kondisi
demikian memudahkan timbulnya kecelakaan. Misalnya tidak mendengar suara-suara
peringatan, sehingga timbul kecelakaan. Ivancevich dan Matteson (1980)
berpendapat bahwa bising yang berlebihan (sekitar 80 desibel) yang berulangkali
didengar, untuk jangka waktu lama, dapat menimbulkan stress. Dampak psikososial
dari bising yang berlebih ialah mengurangi toleransi dari tenaga kerja terhadap
pembangkit stress yang lain, dan menurunkan motivasi kerja. Bising oleh para
pekerja pabrik (blue-collar workes)
dinilai sebagai pembangkit stress yang membahayakan.
Vibrasi
(getaran) : vibrasi merupakan sumber stress yang
kuat yang mengakibatkan peningkatan taraf catecholamine
dan perubahan dari berfungsinya seseorang secara psikologikal dan
neurological.
Vibrasi atau getaran yang beralih
dari benda-benda fisik kebadan dapat memberi pengaruh yang tidak baik pada
unjuk-kerja. Frankenhaeuser dan Gardell (1976) menemukan taraf-taraf catecholamine yang meningkat secara
nyata padapekerja perakitan dalam suatu
pabrik penggergajian dibandingkan dengan pekerja perawatan (maintenance dan repair) dari pabrik yang sama. Pada pekerjaan drilling getaran dari pekerjaan ini dalam jangka panjang akan dapat
membahayakan. Dalam penelitian dari Sutherland dan Cooper (1986) ditemukan
bahwa kondisi kerja yang tidak menyenangkan karena adanya getaran dinilai
sebagai pembangkit stress oleh 37% dari pekerja.
Hygiene
: lingkungan yang kotor dan tidak sehat merupakan pembangkit stress. Para
pekerja dari industri baja menggambarkan kondisi berdebu dan kotor, akomodasi
pada waktu istirahat yang kurang baik, juga toilet yang kurang memadai hal ini
dinilai oleh para pekerja sebagai faktor tinggi pembangkit stress.
b. Tuntutan
Tugas.
Kerja
shift/kerja malam : penelitian menunjukan
bahwa kerja shift merupakan sumber utama dari stress bagi para pekerja
pabrik(Monk & Tepas, 1985). Para pekerja shift lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut
dari pada para pekerja pagi/ siang dan dampak dari kerja shift terhadap
kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan-gangguan perut. Penggaruh ya
adalah emosional dan biologikal karena gangguan ritme circandian dari tidur/daur keadaan bangun (wake cycle), pola suhu, dan ritme
pengeluaran adrnalin.
Menurut Monk dan Folkard (1983) ada
tiga faktor yang harus baik keadaannya agar dapat berhasil menghadapi kerja
shift : tidur, kehidupan sosial dan keluarga, dan ritme circandian. Faktor-faktor tersbut saling berkaitan, sehingga
salah satu dapat membatalkan efek positif dari keberhasilan yang telah dicapai
dengan kedua faktor lain.
Menurut Selye para pekerja yang
biasa bekerja shift lama kalemaan akan merasa berkurang stressnya secara fisik.
Namun perlu diingat bahwa ada pekerjaan-pekerjaan shift dimana tidak dapat
timbul kebiasaan ini, yaitu pada pekerja ring lepas pantai yang bekerja 12 jam
kerja bergantian shift siang dan malam selama 7 atau 14 hari berturut-turut
tanpa adanya istirahat, dan kemudian memperoleh 7 atau 14 hari cuti rumah
(sutherland dan Cooper, 1986).
Beban kerja : beban kerja berlebih
dan beban kerja terlalu sedikit merupakan pembangkit stress. Beban kerja dapat
dibedakan lebih lanjut kedalam beban kerja berlebih/terlalu sedikit
‘kuantitatif’ yang timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang terlalu
banyak/sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu
tertentu, dan bahan kerja berlebih/terlalu sedikit ‘kualitatif’ yaitu jika
orang meras tidak mampu untuk melakukan suatu tugas tidak menggunakan
keterampilan dan potensi dari tenaga kerja. Dalam rangka ini teknologi baru
dapat menimbulkan baik beban kerja terlalu sedikit. Disamping itu beban kerja
berlebih kuantitatif dan kualitatif dapat menimbulkan kebutuhan untuk bekerja
selama jumlah jam yang sangat banyak, yang merupakan sumber tambahan dari
stress.
1. Beban
berlebih kuantitatif
Beban berlebih secara fisikal
ataupun mental, yaitu harus melakukan terlalu banyak hal, merupakan kemungkinan
sumber stress pekerjaan. Unsur yang menimbulkan beban berlebih kuantitatif ini
ialah desakan waktu. Waktu dalam masyarakat industri merupakan satu unsur yang
sangat penting. Setiap tugas diharapkan diselesaikan secepat mungkin secara
tepat dan cermat. Mesin yang memproduksi barang diusahakan untuk dapat memproduksi
barang dalam waktu sesingkat mungkin. Waktu merupakan salah satu ukuran
efisiensi.
Pada saat-saat tertentu, dalam
hal-hal tertentu waktu akhir (deadline)
justru dapat meningkatkan motivasi dan menghasilkan prestasi kerja yang tinggi.
Namun bila desakan waktu menyebabkan timbulnya banyak kesalahan atau
menyebabkan kondisi kesehatan seseorang berkurang, maka ini merupakan cerminan
adanya beban berlebih kuantitatif. Pada saat ini desakan waktu menjadi
destruktif.
Ancaman akan adanya beban berlebih
kuantitatif mempunyai pengaruh yag tidak baik pada para pekerja. Pada amasa
dilakukan analisis waktu gerak pada pekerja, mereka memperlihatkan rasa tidak
senang dan curiga. Para pekerja tidak senang dengan persepsi manajemen yang
mengatakan kepada mereka untuk do more
work in less time. Dalam beberapa kasus analisis semacam itu mengakibatkan
dilakukannya pelambatan kerja (work slow
down) dan sabotage.
2. Beban
terlalu sedikit kuantitatif.
Beban kerja terlalu sedikit juga
mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Kemajuan teknologi dan
peningkatan otomasi dalam industri disatu pihak dapat mengarah pada makin
menjadinya majemuk pekerjaan, dilain pihak, pada tingkat teknologi menengah,
mengarah pada penyederhanaan pekerjaan.
Bentuk lain yang merupakan
pembangkit stress juga ialah adanya fluktuasi dalam beban kerja. Untuk jangka
waktu tertentu bebannya sangat ringan, untuk saat-saat lain bebannya malah
berlebihan . situasi tersebut dapat kita jumpai pada tenaga kerja yang mengatur
perjalanan bagi orang lain pada biro-biro
perjalanan, yang menjadi pemandu wisata tenaga kerja (baik klerikal maupun
profesional) yang bekerja dibiro-biro konsultasi, pramuniaga ditoko-toko, dan
sebagainnya. Keadaan yang tidak tetap ini menimbulkan kecemasan, ketidakpuasan
kerja dan kecendrungan hendak meninggalkan pekerjaan.
3. Beban
berlebihan kualitatif
Kemajemukan pekerjaan ini yang
mengakibatkan adanya beban berlebihan kualitatif.makin tinggi kemajemukan
pekerjaannya makin tinggi stressnya. Kemajemukan pekerjaan yang harus dilakukan
seorang tenaga kerja dapat dengan mudah berkembang menjadi beban berlebihan
kualitatif jika kemajemukannya memerlukan kemampuan teknikal dan intelektual yang lebih tinggi dari pada yang
dimiliki.
Kemajemukan pekerjaan menurut
Everly & Girdano (1980), biasanya meningkat karena faktor-faktor berikut :
· Peningkatan
dari jumlah informasi yang harus digunakan.
· Peningkatan
dari canggihnya informasi atau dari keterampilan yang diperlukan pekerjaan
· Perluasan
atau tambahan alternatif dari metode-metode pekerjaan
· Introduksi
dari rencana-rencana contigency
Penelitian menunjukan bahwa
kelelahan emosional dan mental, sakit kepala, dan gangguan-gangguan pada perut
merupakan hasil dari kondisi kronis dari beban berlebih kualitatif.
Penelitian lain menunjukan bahwa
beban berlebih kualitatif sebagai sumber stress secara nyata berkaitan dengan
rasa harga diri yang rendah.
4. Beban
terlalu sedikit kualitatif
Beban terlalu sedikit kulaitatif
dapat merusak pengaruhnya seperti beban berlebihan kualitatif, dalam hal tenaga
kerja tidak diberi peluang untuk menggunakan keterampilan yang diperolehnya,
atau untuk mengembangkan kecakapan potensialnya secara penuh. Disinipun dapat
timbul kebosanan dan gangguan dalam perhatian sehingga dapat mengakibatkan
hal-hal yang parah .
Beba terlalu sedikit yang
disebabkan kurang adanya rangsangan akan mengarah kesemangat dan motivasi yang
rendah untuk kerja. Tenaga kerja akan merasa bahwa ia tidak maju-maju, dan
merasa tidak berdaya untuk memperlihatkan bakat dan keterampilannya (Sutherland
& Cooper,1988).
Menurut Udris, beban berlebihan
kualitatif berhubungan dengan ketidakpuasan,ketegangan,harga diri rendah,
sedangkan beban terlalu sedikit berkaitan dengan depresi, cepat tersinggung dan
keluhan psikosomatik.
5. Beban
berlebihan kuantitatif dan kualitatif.
Proses pengambilan keputusan
merupakan satu kombinasi yang unik dari fatror-faktor yang dapat mengarah ke
berkembangnya kondisi-kondisi beban berlebihan kuantitatif dan kualitatif pada
waktu yang sama.
Faktor-faktor berikut ini yang
menentukan derajat besarnya stress dalam proses pengambilan keputusan (Everly
& Girdano,1980).
·
Pentingnya
akibat-akibat dari keputusan
·
Derajat kemajemukan
keputusan
· Kelengkapan informasi yang dimiliki
·
Yang bertanggung jawab
terhadap keputusan
·
Jumlah waktu yang
diberikan untuk proses pengambilan keputusan.
·
Harapan dari
keberhasilan.
Terlalu banyak atau terlalu sedikit
informasi yang dimiliki yang dirasakan diterima oleh seorang tenaga kerja,
kedua-duanya akan dapat menimbulkan stress. Terlalu banyak informasi, berarti
kesulitan mengolah semua informasi, terlalu sedikit informasi menyebabkan kita
mulai mereka-reka, menduga-duga, yang menimbulkan ketegangan dalam diri kita
yang kita rasakan sebagai stress.
Faktor waktu juga perlu
dipertimbangkan. Makin singkat waktu yang diberikan dalam proses pengambilan
keputusan makin dirasakan desakan waktu makin besar stressnya.
Jumlah dari stress yang terlibat
dalam proses pengambilan keputusan dapat diungkapkan sebagai berikut : stres
pengambilan keputusan = kepentingan + kemajemukan + kurang informasi + tanggung
jawab + kurang waktu + kurang kepercayaan.
Paparan terhadap risiko dan bahaya
: risiko dan bahaya digandengkan dengan jabatan tertentu merupakan sumber dari
stress. Kelompok-kelompok jabatan yang dianggap memiliki risiko tinggi, dalam
arti kata secara fisikal berbahaya , antara lain polusi, pekerja tambang,
tentara, pagawai dilembaga pemasyarakatan,pegawai mobil kebakaran, pekerja pada
eksplorasi gas dan minyak, dan pada instalasi produksi.
2.2
Peran Individu dalam
Organisasi.
Setiap tenaga bekerja sesuai dengan
perannya dalam organisasi artinya setiap tenaga kerja mempunyai kelompok
tugasnya yang harus ia lakukan sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai
dengan yang diharapkan oleh atasannya. Namun demikian tenaga kerja tidak selalu
berhasil untuk memainkan perannya tanpa menimbulkan masalah. Kurang baik
berfungsinya (dysfunction) peran,
yang merupakan pembangkit stress, yang akan dibicarakan disini ialah konflik
peran dan ketaksaan peran (role ambiguity).
a. Konflik
Peran.
Konflik
peran timbul jika seorang tenaga kerja mengalami adanya :
1. Perentangan
antara tugas-tugas yang harus ia lakukan dan antara tanggung jawab yang harus
ia miliki.
2. Tugas-tugas
yang harus ia lakukan tyang menurut pandangannya bukan merupakan bagian dari
pekerjaannya.
3. Tuntutan-tuntutan
yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahannya, atau orang lain yang dinilai
penting bagi dirinya
4. Pertentangan
dengan nilai-nilai dan keyakinan
pribadinya sewaktu melakukan tugas pekerjaannya.
Stress
timbul karena ketidakcakapannya untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dan berbagai
harapan tentang dirinya. Van Sell dkk (1981) dan Kahn dkk (1964) menemukan
bahwa tenaga kerja yang menderita konflik peran yang lebih banyak memiliki
kepuasan kerja yang lebih rendah dan ketegangan pekerjaan yang lebih tinggi.
Konflik peran juga berkaitan dengan stress fisiologikal.
French
dan Caplan (1970) menemukan bahwa peningkatan detak jantung dan rasa tegang
pada pekerjaan para tenaga kerja priakantor mempunya kaitan yang erat dengan
konflik peran yang dilaporkan
Miles
dan Perreault (1976) membedakan empat jenis konflik peran :
1. Konflik
peran pribadi : tenaga kerja ingin melakukan tugas berbeda dari yang disarankan
dalam uraian pekerjaannya.
2. Konflik
intrasender : tenaga kerja menerima penugasan tanpa memiliki tenaga kerja yang
cukup untuk dapat menyelesaikan tugas dengan berhasil
3. Konflik
intersender : tenaga kerja diminta untuk berperilaku sedemikian rupa sehingga ada orang merasa
puas dengan hasilnya sedangkan orang lain tidak.
4. Peran
dengan beban berlebih : tenaga kerja mendapat penugasanlerja yang terlalu
banyak dan tidak dapat ia tangani secara efektif.
Hasil
penelitian tidak jelas menunjukan bahwa konflik peran merupakan pembangkit stress pada para pekerja
pabrik. Menurut Sutherland dan Cooper (1988) mungkin para pekerja pabrik lebih
merasakan konflik intersender sebagai pembangkit stress. Menurut Cooper dan
Marshall (1978) konflik peran lebih dirasakan sebagai pembangkit stress oleh
mereka yang bekerja pada batas-batas organisasi (organizational boundaries) seperti para manajer menengah pada
umumnya.
b. Ketaksaan
Peran
Ketaksaan peran dirasakan jika seorang
tenaga kerja tidak memiliki cukup infotmasi untuk dapat melaksanankan tugasnya,
aau tidak mengerti atau merealisasi harapan-harapan yang berkaitan dengan peran
tertentu.
Faktor-faktor yang daat menimbulkan
ketangkasan peran menurut Everly dan Girdano ialah :
1. Ketidakjelasan
dari sasaran-sasaran (tujuan-tujuan) kerja
2. Kesamaran
tentang tanggung jawab
3. Ketidakjelasan
tentang prosedur kerja
4. Kesamaran
tentang apa yang diharapkan tentang
orang lain
5. Kurang
adanya balikan atau kertidakpastian tentang unjuk-kerja pekerjaan
Menurut Kahn dkk (1964) stress yang
timbul karena ketidakjelasan sasaran akhirnya mengarah ketidakpuasan pekerjaan,
kurang memiliki kepercayaan diri, ras diri tidak berguna, rasa harga diri yang
menurun , depresi, motivasi rendah untuk bekerja, peningkatan tekanan darah dan detak nadi, dan kecenderungan untuk
meninggalkan pekerjaan.
2.3
Pengembangan Karier (Career Development)
Pengembangan karier mengacu pada job activities pursued over time, which can
involve several jobs and various occupations over the course of time
(Hall,1976)
Everly dan Girdano menganggap bahwa
untuk menghasilkan kepuasan pekerjaan dan mencegah timbulnya frustasi pada para
tenaga kerja (yang merupakan bentuk reaksi terhadap stress), perlu diperhatikan
tiga unsur yang penting dalam pengembangan karier, yaitu :
1. Peluang
untuk menggunakan keterampilan jabatan sepenuhnya
2. Peluang
mengembangkan keterampilan baru
3. Penyuluhan
karier untuk memudahkan keputusan-keputusan yang menyangkut karier.
Penegmbangan karier merupakan pembangkit
stress potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan
promosi yang kurang.
a. Job
Insecurity
Ketakutan kehilangan pekerjaan,
ancaman bahwa pekerjaanya dianggap tidak diperlukan lagi merupakan hal-hal
biasa yang dapat terjadi dalam kehidupan kerja. Perubahan-perubahan lingkungan
menimbulkan masalah baru yang dapat mempunyai dampak pada perusahan.
Reorganisasi dirasakan perlu untuk dapat menghadapai perubahan lingkungan
dengan lebih baik. Sebagai akibatnya ialah adanya pekerjaan lama yang hilang
dan adanya pekerjaan yang baru. Introduksi hasil-hasil teknologi yang canggih
kedalam perusahaan juga memberikan dampak pada jumlah dan macam pekerjaan yang
ada. Dapat terjadi bahwa pekerjaan-pekerjaan yang baru memerlukan keterampilan
yang baru. Setiap reorganisasi menimbulkan ketidakpastian pekerjaan, yang
merupakan sumber stress yang potensial.
b. Over
dan Under-Promotion
Setiap organisasi industri mempunyai
proses pembuahan masing-masing. Ada yang tumbuhnya cepat dan ada yang lambat,
ada pula yang tidak tumbuh atau setelah tumbuh besar mengalami penurunan,
organisasinya menjadi lebih kecil. Pola pertumbuhan organisasi berbeda-beda.
Salah satu akibat dari proses pertumbuhan ini ialah tidak adanya kesinambungan
dari mobilitas vertikal dari para tenaga kerjanya. Peluang dan kecepatan
promosi tidak sama setiap saat. Dalam pertumbuhan organisasi yang cepat, banyak
kedudukan pimpinan memerlukan tenaga, dalam keadaan sebaliknya, organisasi
terpaksa harus memperkecil diri, tidak ada peluang untuk mendapatkan promosi,
malahan akan timbul kecemasan akan kehilangan pekerjaan.
Stress yang timbul karena over-promotion memberikan memberikan
kondisi yang sama seperti beban kerja
berlebuhan yang telah dibahas diatas, hatga diri yang rendah dihayati oleh
seseorang tenaga kerja yang mendapatkan promosi terlalu dini, atau yang
dipromosikan kejabatan yang menuntut pengetahuan dan keterampilan yang tidak
sesuai dengan bakatnya.
Promosi sendiri dapat merupakan
sumber dari stress, jika peristiwa tersebut dirasakan sebagai perubahan
darastis yang mendadak, misalnya jika tenaga kerjanya kurang dipersiapkan untuk
promosi. Everly dan Girdano mengajukan tiga faktor yang menyebabkan pomosi
dirasakan sebagai stress, yaitu :
1. Perubahan-perubahan
nyata dari fungsi pekerjaan, misalnya menjadi fungsi pemantau.
2. Penambahan
tanggung jawab terhadap manusia, produksi dan uang.
3. Perubahan
dalam peran sosial yang menemani promosinya, misalnya menjadi ketua dari
berbagai macam panitia, mewakili atau menjadi anggota dari delegasi organisasi
dalam negosiasi dengan pihak-pihak lain.
2.4
Hubungan dalam
Pekerjaan
Hubungan sosial yang menunjang
(supportive) dakan rekan-rekan kerja, atasan, dan bawahan dipekerjaan, tidak
akan menimbulkan tekanan-tekanan antarpribadi yang berhubungan dengan
persaingan. Kelekatan kelompok, kepercayaan antar pribadi dan rasa senang
dengan atasan, berhubungan dengan penurunan dari stress pekerjaan dan kesehatan
yang lebih baik. Perilaku yang kurang menenggang rasa dari atasan tampakya
menimbulkan rasa tekanan dari pekerjaan yang ketat dan pemantau ujuk kerja yang
kaku dapat dirasakan sebagai penuh stress.
Stress juga dapat timbul karena tenaga
kerja harus bekerja sama dengan tenaga kerja lain yang berkepribadian kasar,
orang yang tidak memperhatikan perasaan dan kepekaan dalam interaksi sosial,
dan orang yang dingin. Dilain pihak mereka biasanya orang yang berorientasi
prestasi, selalu bekerja keras dan pandai. Jika ia seorang atasan maka ia akan
menimbulkan stress yang besar pada para bawahan
Penelitian menunjukan bahwa pekerjaan
yang terisolasi, dimana tenaga kerja tidak dapat berbicara dengan tenaga kerja
lain selama jam kerja,jadi bekerja sendirian sepanjang hari (misalnya sebagai
operator kran, operator mesin pemintalan benang) dan pekerjaan yang berdasarkan
tempat sejumlah tenaga kerja harus bekerja dalam ruang yang sempit dapat
merukan pembangkit stress. Unjuk kerjanya menurun, tekanan darah meningkat, dan
tidak ada kepuasan kerja.
2.5
Struktur dan Iklim
Organisasi
Para tenaga kerja mempersepsikan
kebudayaan, kebisaan, dan iklim dari organisasi adalah penting dalam memahami
sumber-sumber stress potensial sebagai hasil dari beradanya mereka dalam
organisasi, kepuasan dan ketidakpuasan kerja berkaitan dengan penilaian dari
struktur dan iklim organisasi.
Penelitan menunjukan bahwa kurangnya
peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan
suasana hati dan perilaku yang negatif, misalnya menjadi perokok berat.
Peningkatan peluang untuk berperan serta menghasilkan peningkatan unjuk-kerja,
dan peningkatan taraf dari kesehatan mental dan fisik.
2.6
Tuntutan dari Luar
Organisasi/Pekerjaan
Kategori pembangkit stress potensial ini
mencakup segala unsur kehidupan seseorang yang dapat berinteraksi dengan
peristiwa-peristiwa kehidupan dan kerja didalam satu organisasi, dan dengan
demikian memberi tekanan pada individu.
Isu-isu tentang keluarga, krisis
kehidupan, kesulitan keuangan, keyakinan-keyakinan pribadi dan organisasi yang
bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan perusahaan,
semuanya dapat merupakan tekanan pada individu dalam pekerjaannya, sebagaimana
halnya stress dalam pekerjaan mempunyai dampak negatif pada kehidupan keluarga
dan pribadi.
Namun demikian, perlu diketahui bahwa
peristiwa kehidupan pribadi dapat meringankan akibat dari pembangkit stress
organisasi. Jadi support sosial berfungsi sebagai ‘bantal penahan’ stress.
Sebaliknya, kepuasan kerja dapat membantu individu untuk menghadapi kehidupan
pribadi yang penuh stress dengan berfungsi sebagai bantal penahan juga.
2.7
Ciri-ciri Individu
Pengertian stress bukan sesuatu yang ada
dalam situasi, tetapi menurut pandangan interktif dari stress, stress ditentukan pula oleh
individunya sendiri, sejauh mana ia melihat situasinya sebagai penuh stress.
Reaksi-reaksi psikologis, fisiologis dan dalam bentuk perilakau terhadap stress
adalah hasil dari interaksi situasi dari individunya, mencakup ciri-ciri
keperibadian yang khusus dan pola-pola perilaku yang didasarkan pada sikap,
kebutuhan, nilai-nilai, pengalama lalu, keadaan kehidupan dan kecakapan (antara
lain inteelgensi, pendidikan, pelatihan, pembelajaran). Dengan perkataan lain
faktor-faktor dalam individu berfungsi
sebagai faktor pengubah anatara rangsangan dari lingkungan yang merupakan
pembangkit stress potensial dengan individu. Faktor pengubah ini yang
menentukan bagaimana dalam kenyataannya individu bereaksi terhadap pembangkit
stress potensial.
a. Kepribadian
Kepribadian yang flexibel ( orang yang lebih terbuka terhadap pengaruh dari orang
lain sehingga lebih mudaj mendapatkan beban yang berlebihan) mengalami
ketegangan yang lebih besar dalam situasi konflik, dibandingkan dengan mereka
yang berkepribadian rigid.
Mereka yang memiliki ciri-ciri
aktivitas yang berlebihan (overactivity),
keagresifan (aggresiviness), dan rasa
bermusuhan (hostility) mempunyai
kemungkinan yang besar untuk mendapatkan kecelakaan.
Locus
of control: konsep ini didasarkan pada teori
pembelajaran sosial bahwa individu belajar dari lingkungan melalui pembuatan
model dan pengalaman lampau. Locus of
control mengacu pada derajat kendali yang diamati terhadap situasi tertentu
yang terberikan. Orang yang berorientasi internal percaya bahwa keputusan dan
tindakan pribadi mempengaruhi hasil. Orang yang berorientasi ekstrenal percaya
bahwa hasil lebih ditentukan oleh keputusan dan keyakinan dari orang lain atau
ditentukan oleh nasib, kekuatan di luar dirinya.
Orang yang ber-locus of control internal
mengalami ancaman lebih sedikit daripada yang berorientasi eksternal.
Tipe A dan Tipe B : Dr.Meyer
Friedman dan Dr.Ray rosenman dari Harold Brunn Institute for Cardiovascular
Research di San Fransisco menemukenali dua pola perilaku, masing-masing terdiri
dari satu perangkat ciri-ciri kepribadian yang majemuk, yaitu Tipe A dan Tipe
B.
Orang dari Tipe A digambarkan
sebagai orang yang memiliki derajat dari intensitas yang tinggi untuk ambisi,
dorongan untuk pencapaian (achievement)
dan pengakuan (recognition)
kebersaingan (competitiveness) dan
kegresifan. Orang tipe A memiliki paksaan untuk bekerja berlebih, selalu
bergelut dengan batas waktu atau sering melantarkan aspek-aspek lain dari
kehidupan seperti keluarga kejaran sosial (social
pursuits), kegiatan-kegiatan waktu luang dan rekreasi.
Sebaliknya pola perilaku orang tipe
B digambarkan sebagai lebih menggampangkan (easy going) dan santai. Secara
relatif bebas dari rasa mendesak mereka tidak mempunyai konflik berarti dengan
orang lain mereka merasa lebih sedikit permusuhan.
b. Kecakapan
Kecakapan merupakan variabel yang
ikut menentukan stress tidaknya suatu situasi yang sedang dihadapi. Jika
seorang tenaga kerja menghadapi masalah yang ia rasakan tidak mampu ia
pecahkan, sedangkan situasi tersebut mempunyai arti yang penting bagi dirinya,
situasi tersebut akan ia rasakan sebagai situasi yang mengancam dirinya
sehingga ia mengalami stress.
c. Nilai
dan Kebutuhan
Setiap organisasi mempunyai
kebudayaannya masing-masing. Kebudayaan yang terdiri dari keyakinan-keyakinan,
nilai-nilai dan norma-norma perilaku yang menunjang organisasi dalam usahanya
mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dan pemanduan (integrasi)
internal. Para tenaga kerjanya diharapkan berperilaku sesuai dengan norma-norma
perilaku yang diterima dalam organisasi. Para tenaga kerja yang baru diterima,
melalui proses sosialisasi, berusaha menyesuaikan diri. Proses sosialisais
tidak berlangsung lancar untuk semua tenaga kerja. Ada yang gagal, ada yang
berhasil, dan ada yang setengah berhasil menyesuaikan diri. Yang gagal memngundurkan
diri yang lainnya terus beekrja. Jika dalam proses penyesuaian diri tidak
terjadi internalisasi dari nilai-nilai yang penting, hanya terjadi penyesuaian
perilaku sesuai dengan norma-norma perilaku yang diterima, maka situasi
perbedaan atau bahkan pertentangan nilai ini akan mempertajam perbedaan
kebutuhan.
3.
Memanajemeni
Stress
Stress dalam pekerjaan dapat
dicegah timbulnya dan dapat dihadapi tanpa memperoleh dampaknya yang negatif.
Memanajemeni stress berarti berusaha mencegah timbulnya stress, meningkatkan
ambang stress dari individu dan menampung akibat fisiologikal dari stress.
Pandangan interaktif mengatakan
bahwa stress ditentukan oleh faktor-faktor dari individunya. Dalam memanajemeni
stress dapat diusahakan untuk :
a. Mengubah
faktor-faktor dilingkungan agar tidak merupakan pembangkit stress.
b. Mengubah
faktor-faktor dalam individu agar :
1. Ambang
stress meningkat tidak cepat merasakan situasi yang dihadapi dengan penuh
stress.
2. Toleransi
terhadap stress meningkat dapat lebih lama bertahan dalam situasi yang penuh
stress, tidak cepat menunjukan akibat yang merusak dari stress pada badan.
Dapat mempertahankan kesehatannya.
Teknik-teknik
yang digunakan ialah :
1. Kerekayasaan
organisasi
2. Kerekayasaan
kepribadian (peningkatan kecakapan dan perubahan kebutuhab dan nilai-nilai)
3. Teknik
penenangan pikiran
4. Teknik
penenangan melalui aktivitas fisik
3.1
Kerekayasaan Organisasi
Melalui analisis kerja dan kerekayasaan
metode dapat dirancang pola pekerjaan baru bagi pekerjaan yang dirasakan
memiliki beban berlebihan. Secara secara kuantitatif banyaknya kegiatan dapat
dikurangi, misalnya dengan penambahan tenaga kerja, secara kualitatif dapat
dikurangi derajat kemajemukan keterampilan yang diperlukan dan dapat dikurangi
tanggung jawabnya juga. Sebaliknya bagi pekerjaan dengan beban terlalu sedikit
dapat dilakukan perluasaan pekerjaan (job
enlargement) dan pemerkayaan pekerjaan (job
enrichment). Dapat pula dilakukan strategi yang diajukan oleh Everly dan
Girdano yaitu sasaran berdasarkan kerja (work
by-Objectives) dan amanajemen waktu (Time
Manegement) yang khusu berlaku untuk para manajer menengah keatas.
Sasaran berdasarkan Kerja (SbK) ini
merupakan salah satu teknik yang termasuk dalam jenis manajemen berdasarkan
sasaran (Management by Objectives).
SbK terdiri dari 4 langkah yaitu :
1. Menetapkan
sasaran realistik bagi satuan kerjanya, yang dapat dicapai dalam waktu yang
dimiliki
2. Merancang
perangkat perencanaan, tindakan atau metode untuk dapat mencapai sasaran
3. Menciptakan
strategi untuk dapat mengukur keberhasilannya mencapai sasaran-sasaran pada
akhir suatu periode tertentu
4. Pada
akhir waktu yang sudah ditentukan mengukur keberhasilan mencapai
sasaran-sasarannya.
Manajemen
waktu (MW) emiliki tiga tahap, yaitu :
1. Analisis
waktu
2. Strategi untuk mengorganisasi
3. Strategi
untuk follow up
Analisis
waktu mencakup penaksiran, penyususan prioritas, dan penjadwalan waktu dalam
kaitan dengan tuntutan waktu terhadap pekerjaan. Berdasarkan rencana kerja yang
dibuat pada SbK dihitung waktu yang diperlukan untuk melaksanakan rencana kerja
tersebut. Waktu yang diperlukan kemudian disesuaikan dengan waktu yang
tersedia, sedemikian rupa sehingga tugas-tugas dapat diselesaikan sesuai dengan
urutan kepentingannya dalam waktu yang tersedia.
Tahap
kedua ialah pelaksanaan strategi untuk mengatur beban kerja. Manajer membagi
tugas, mendelegasikan wewenang dan
tanggung jawab.
Tahap
ketiga ialah strategi follow up. Follow up mencakup penaksiran teratur tentang
efisiensi dari analisis waktu dan tahap-tahap pengaturan berikutnya. Dengan
follow up diperoleh peluang untuk menyesuaikan strategi-strategi yang cocok
anatara kepribadian manajer dengan pekerjaannya.
SbK
dan MW khususnya dapat dilakukan untuk pekerjaan-pekerjaan yang dirasakan
memeiliki bebena berlebihan.
3.2
Kerekayasaan
Kepribadian
Strategi yang digunakan dalam
kerekayasaan kepribadian ialah upaya untuk menimbulkan perubahan-perubahan
dalam kepribadian individu agar daoat dicegah timbulnya stress dan agar ambang
stress dapat ditingkatkan. Perubahan-perubahan yang dituju ialah perubahan
dalam hal pengetahuan, kecakapan, keterampilan dan nilai-nilai yang
mempengaruhi persepsi dan sikap tenaga kerja terhadap pekerjaannya.
Program pelatihan keterampilan merupakan
salah satu strategi untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja sehingga
timbul rasa percaya diri akan kemampuannya untuk melaksanakan pekerjaannya.
Jika tenaga kerja telah mengalami
stress, serta stress berakibat teganggunya kesehatan mentalnya, maka
psikoterapi dapat diberikan agar ia dapat berfungsi optimal kembali
3.3
Teknik Penenangan
Pikiran
Tujuan teknik-teknik penenangan pikiran
ialah untuk mengurangi kegiatan pikiran,yaitu proses berpikir dalam bentuk
merencana, meningat, berkhayal, menalar yang secara bersinambung kita lakukan
dalam keadaan bangun, dalam keadaan sadar. Jika berhasil mengurangi kegiatan
pikiran, rasa cemas dan khawatir akan berkurang, kesigapan umum (general
arousal) untuk beraksi akan berkurang, sehingga pikiran menjadi tenang, stress
berkurang.
Teknik-teknik penenang pikiran meliputi
a. Meditasi, b. Pelatihan relaksasi autogenik, c. Pelatihan relaksasi
neuromuscular.
a. Meditasi
Meditasi dapat dianggap sebagai
teknik, dapat pula dianggap sebagai suatu keadaan pikiran (mind), keadaan
mental. Berbagai teknik seperti yoga, berfikir, relaksasi progresif, dapat
menuju tercapainya keadaan mental tersebut.konsentrasi merupakan aspek utama
dari teknik-teknik meditasi.
Penelitian menunjukan bahwa selma
meditasi aktivitas dari kebanyakan sistem fisik berkurang. Meditasi menyebabkan
adanya relaksasi fisik. Pada saat yang sama meditator mengendalikan secara
penuh penghayatannya dan mengendalikan emosi, perasaan dan ingatan. Pikiran
menjadi tenang, badan berada dalam keseimbangan.
b. Pelatihan
Relaksasi Autogenik
Relaksasi autogenik adalah
relaksasi yang ditimbulkan sendiri (auto-genis = ditimbulkan sendiri). Teknik
ini berpusat pada gambaran-gambaran berperasaan tertentu yang dihayati bersama
dengan terjadinya peristiwa tertentu yang kemudian terkait kuat dalam ingatan,
sehingga timbulnya kenangan tentang peristiwa akan menimbulkan pula penghayatan
dari gambaran perasaan yang sama.
Pelatihan relaksasi autogenik
berusaha mengaitkan penghayatan yang menenangkan dengan peristiwa yang
menimbulkan ketegangan, sehingga badan kita terkondisi untuk memberikan
penghayatan yang tetap menenangkan meskipun menghadapi peristiwa yang
sebelumnya menimbulkan ketegangan.
c. Pelatihan
Relaksasi Neuromuscular.
Pelatihan relaksasi neuromuscular
adalah satu program yang terdiri dari latihan-latihan sistematis yang melatih
otot dan komponen-komponen sistem saraf yang mengendalikan aktivitas otot.
Sasarannya ialah mengurangi ketegangan dalam otot. Karena otot merupakan bagian
yang begitu besar dari badan kita, maka pengurangan ketegangan pada otot
berarti pengurangan ketegangan yang nyata dari seluruh badan kita.
Individu diajari untuk secara sadar
mampu merelakskan otot sesuai dengan kemauannya setiap saat.
3.4
Teknik Penanganan
Melalui Aktivitas Fisik
Tujuan utama penggunaan teknik
penenangan melalui aktivitas fisik ialah untuk menghamburkan atau untuk
menggunakan sampai habis hasil-hasil stress yang diproduksi oleh ketakutan dan
ancaman, atau yang mengubah sistem hormon dan saraf kita kedalam sikap
mempertahannkan.
Kita dapat melakukan aktivitas fisik
sebelum dan sesudah stress. Kita semua merasakan bahwa, dalam menghadapi situasi
yang kita rasakan sebagai penuh stress, timbul satu kesigapan umum untuk
melakukan sesuatu, timbul tambahan tenaga (untuk ‘melarikan diri’ atau untuk
‘melawan’) yang timbul sebagai akibat perubahan-perubahan dalam sistem hormon
dan sistem saraf kita.
Aktivitas yang sesuai dalam hal ini
ialah latihan keseluruhan badan, seperti berenang, lari, menari, bersepedaatau
olahraga lain selama kurang lebih satu jam.
Menurut Everly dan Girdano latihan fisik
dapat paling baik manfaatnya jika dilakukan dalam beberapa jam setelah timbulnya stress, tetapi setiap saat
dalam 24 jam masih akan tetap dapat menolong.
Aktivitas fisik dapat juga dilakukan
sebelum stress timbul. Aktivitas fisik memiliki sifat preventif (penghindaran).
Selama melakukan aktivitas fisik seluruh sistem badan dirangsang untuk
beraksi,bergerak. Setelah kegiatan, sistem-sistemnya memantul dengan cara makin
melambat (by slowing down), dengan demikian mendorong ke relaksasi dan
ketenangan. Kurang lebih 90 menit setelah latihan fisik yang baik, timbul rasa
dari relaksasi yang mendalam. Relaksasi setelah latihan fisik membawa serta
sesuatu rasa ‘dingin-tenang-‘ (imperturbabilty), satu reaktivitas terhadap
lingkungan yang lebih rendah yang membantu orang, yang secara kronis melakukan
latihan-latihan fisik, untuk bereaksi lebih sesuai terhadap rangsangan. Keadaan
ini membuat orang melangkah lebih ringan, bersikap lebih positif dan lebih
sulit untuk menjadi jengkel.
4.
Jenis-Jenis
Stress
a. Eustress
yaitu hasil dari respons terhadap stress yang bersifat sehat, positif dan
konstruksif (bersifat membangun)
b. Distress
yaitu hasil dari respons terhadap stress yang bersifat tidak sehat, negatif,
dan destriktif (bersifat menursak)
5.
Sumber-sumber
stres kerja
Banyak ahli mengemukakan menganai
penyebab stres kerja itu sendiri. Soewondo (1992) mengadakan penelitian dengan
300 sampel karyawan swasta di Jakarta, menemukan bahwa beberapa stress kerja
terdiri atas 4 hal utama, yakni :
a. Kondisi
dan situasi pekerjaan
b. Pekerjaannya
c. Job
requirwmwnt seperti status pekerjaan dan karier yang tidak jelas
d. Hubungan
interpersonal
Luthans
(1992) menyebutkan bahwa penyebab stress (stressor) terdiri atas 4 hal utama,
yakni :
a. Extra
organizational stressor yang terdiri dari perubahan sosial/teknologi, keluarga,
relokasi, keadaan ekonomi dan keungan, ras dan kelas, dan keadaan komunitas/
tempat tinggal.
b. Organizational
stressor, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur organisasi, keadaan
fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam organisasi
c. Group
stressor, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup, kurangnya
dukungan sosial, serta adanya konflik antar individu, antar personal, dan
intergrup.
d. Individual
stressor, yang terdiri dari terjadinya konflik dan ketidakjelasan peran,
sertadisposisi individu seperti pola kepribadian tipe A, control personal, daya
tahan psikologis
Penyebab
stress dalam pekerjaan dibagi menjadi dua, yakni:
a. Group
stressor adalah penyebab stress yang berasal dari situasi maupun keadaan
didalam perusahaan, misalnya kurangnya kerjasama antar karyawan, konflik antar
individu dalam suatu kelompok, maupun kurangnya dukungan sosial dari sesama
karyawan didalam perusahaan.
b. Individual adalah penyebab stres yang berasal dari dalam
diri individu, misalnya tipe kepribadian
seseorang, kontrol personal dan tingkat kepasrahan seseorang, persepsi
terhadap diri sendiri, tingkat ketabahan dalam menghdapi konflik peran serta
ketidakjelasan peran.
6.
Dampak
Stres Kerja Negatif
Pada umumnya stres kerja lebih
banyak merugikan diri karyawan maupun perusahaan, pada diri karyawan,
konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang
tinggi, frustasi dan sebagainya (Rice,1999). Konsekuensi pada karyawan ini
tidak hanya berhubungan dengan aktivitas kerja saja , tetapi dapat meluas
keaktivitas lain diluar pekerjaan, seperti tidak dapat tidur dengan
tenangselera makan berkurang, kurang mampu berkonsentrasi.
Sedangkan Arnold (1986) menyebutkan
bahwa ada empat konsekuenis yang dapat terjadi akibat stres kerja yang dialami
oleh individu, yaitu terganggunya kesehatan fisik, kesehatan psikologis,
performance, serta memengaruhi individu dalam pengambilan keputusan.
7.
Gejala
Psikologis
Berikut
ini adalah gejala-gejala psikologis yang sering ditemui pada hasil penelitian
mengenai stress pekerjaan :
a. Kecemasan,
ketegangan, kebingungan, dan mudah tersinggung.
b. Perasaan
frustasi, rasa marah, dan dendam (kebencuan)
c. Sensitif
dan hyperreactivity
d. Memendam
perasaan, penarikan diri, dan depresi
e. Komunikasi
yang tidak efektif
f. Perasaan
terkucil dan terasing
g. Kebosanan
dan ketidakpuasan kerja
h. Kelelahan
mental, penurunan fung
i.
intelektual, dan kehilangan konsentrasi
j.
Kehilangan spontanitas
dan kreativitas
k. Menurunnya
rasa percaya diri
8.
Gejala
Fisiologis
Gejala-gejala
fisiologis yang utama dari stres kerja adalah :
a. Meningkatnya
denyut jantung, tekanan darah dan kecenderungan mengalami penyakit
kardiovaskular.
b. Meningkatnya
sekresi dan hormon stress (contoh : adrenalin, dan nonoadrenalin)
c. Gangguan
gastrointestinal (misalnya : gangguang lambang)
d. Meningkatnya
frekuenis dari luka fisik dan kecelakaan
e. Kelelahan
secara fisik dan kemungkinan mengalami syndrome kelelahan yang kronis
f. Gangguan
pernapasan, termasuk gangguan dari
kondisi yang ada
g. Gangguan
pada kulit
h. Sakit
kepala, sakit punggung bagian bawah, ketegangan otot
i.
Gangguan tidur
j.
Rusaknya fungsi imun tubuh,
termasuk risiko tinggi kemungkinan terkena kanker.
9.
Gejala
Perilaku
Gejala-gejala
perilaku yang utama dari stres kerja adalah :
a. Menunda,
menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan
b. Menunrunnya
prestasi (performance) dan produktivitas
c. Meningkatnya
penggunaan minuman keras dan obat-obatan
d. Perilaku
sabotase dalam pekerjaan
e. Perilaku
makan yang tidak normal (kebanyakan) sebagai pelampiasan mengarah ke obesitas
f. Perilaku
makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk penarikan diri dan
kehilangan berat badan secara tiba-tiba, kemungkinan berkombinasi dengan
tanda-tanda depresi
g. Meningkatnya
kecenderungan berperilaku berisiko tinggi, seperti menyetir tidak hati-hati dan
berjudi
h. Meningjatnya
agresivitas, dan kriminalitas
i.
Menurunnya kualitas
hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman
j.
Kecenderungan untuk
melakukan bunuh diri
10.
Dampak
Stres Kerja Positif
Bila menghadapi stress, pola pikir kita harus dibalik,
yang tadinya berdampak negatif dicari positifnya (disyukuri) karena dibalik
kesukaran/stres akan ada kebahagiaan, tergantung pada keikhlasan yang menjalani.