Psikologi Manajemen
1.
Teori Motivasi yang bisa menggerakkan proses kerja karyawan
- Teori
Tata Tingkat-Kebutuhan
Menurut
Maslow, individu dimotivasi oleh kebutuhan yang belum dipuaskan, yang paling
rendah, paling dasar dalam tata tingkat. Begitu tingkat kebutuhan ini dipuaskan,
ia tidak akan lagi memotivasi perilaku. Kebutuhan pada tingkat berikutnya yang
lebih tinggi menjadi dominan. Dua tingkat kebutuhan dapat beroperasi pada waktu
yang sama, tetapi kebutuhan pada tingkat lebih rendah yang dianggap menjadi
motivator yang lebih kuat dari perilaku. Maslow juga menekankan bahwa makin
tinggi tingkat kebutuhan, makin tidak penting ia untuk mempertahankan hidup (survival) dan makin lama pemenuhannya
dapat ditunda.
- Kebutuhan
fisiologikal (faali). Kebutuhan yang timbul berdasarkan kondisi
fifiologikal badan kita, seperti kebutuhan untuk makanan dan minuman,
kebutuhan akan udara segar (oksigen). Kebutuhan fisiologikal merupakan
kebutuhan primer atau kebutuhan dasar, yang harus dipenuhi. Jika kebutuhan
ini tidak dipenuhi, maka individu berhenti eksistensinya.
- Kebutuhan
rasa aman. Kebutuhan ini masih sangat dekat dengan kebutuhan fisiologis.
Kebutuhan ini mencakup kebutuhan untuk dilindungi dari bahaya dan ancaman
fisik. Dalam pekerjaan, kita jumpai kebutuhan ini dalam bentuk “rasa asing”
sewaktu menjadi tenaga kerja baru, atau sewaktu pindah ke kota baru.
- Kebutuhan
sosial. Kebutuhan ini mencakup memberi dan menerima persahabatan, cinta
kasih, rasa memiliki (belonging).
Setiap orang ingin menjadi anggota kelompok sosial, ingin mempunyai teman,
kekasih. Dalam pekerjaan kita jumpai kelompok informal yang merupakan
kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sosial seorang tenaga kerja.
- Kebutuhan
harga diri (esteem needs). Kebutuhan
harga diri meliputi dua jenis:
a. Yang
mencakup faktor-faktor internal, seperti kebutuhan harga diri, kepercayaan
diri, otonomi dan kompetensi.
b. Yang
mencakup faktor-faktor eksternal kebutuhan yang menyangkut reputasi seperti
mencakup kebutuhan untuk dikenali dan diakui (recognition), dan status.
Kebutuhan
harga diri ini dapat terungkap dalam keinginan untuk dipuji dan keinginan untuk
diakui prestasi kerjanya. Keinginan untuk didengar dan dihargai pandangannya.
5. Kebutuhan
aktualisasi diri. Kebutuhan untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan
yang dirasakan dimiliki. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan untuk menjadi
kreatif, kebutuhan untuk dapat merealisasikan potensinya secara penuh.
Kebutuhan ini menekankan kebebasan dalam melaksanakan tugas pekerjaannya.
Dalam
situasi dan kondisi tertentu, kebutuhan-kebutuhan pada teori tata tingkat
kebutuhan ini dapat menimbulkan motivasi proaktif dan dapat menimbulkan
motivasi reaktif. Lingkungan kerja besar pula pengaruhnya terhadap corak
motivasi kerja seseorang. Paksaan yang dirasakan oleh seseorang tenaga kerja
untuk mementingkan ketaatan terhadap atasan dapat menghasilkan motivasi kerja
yang lebih reaktif coraknya. Sebaliknya lingkungan kerja dapat pula merangsang
timbulnya motivasi kerja yang proaktif.
- Teori
Dua Faktor
Teori
dua factor juga dinamakan teori hygiene-motivasi
dikembangkan oleh Herzberg. Ia temukan bahwa faktor-faktor yang menimbulkan
kepuasan kerja berbeda dengan faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan
kerja. Faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja, yang ia namakan faktor
motivator, mencakup faktor-faktor yang
berkaitan dengan isi dari pekerjaan, yang merupakan factor intrinsikdari
pekerjaan yaitu:
- Tanggung
jawab (responsibility), besar
kecilnya tanggung jawab yang dirasakan diberikan kepada seorang tenaga
kerja
- Kemajuan (advancement), besar kecilnya kemungkinan
tenaga kerja dapat maju dalam pekerjaannya
- Pekerjaan
itu sendiri, besar kecilnya tantangan yang dirasakan tenaga kerja dari
pekerjaannya
- Capaian (achievement), besar kecilnya
kemungkinan tenaga kerja mencapai prestasi kerja yang tinggi
- Pengakuan (recognition), besar kecilnya
pengakuan yang diberikan kepada tenaga kerja atas unjuk-kerjanya.
Kelompok
faktor yang lain yang menimbulkan ketidakpuasan, berkaitan dengan konteks dari
pekerjaan, dengan faktor-faktor ekstrinsik dari pekerjaan, dan meliputi faktor-faktor:
1. Administrasi
dan kebijakan perusahaan, derajat kesesuaian yang dirasakan tenaga kerja dari
semua kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam perusahaan.
2. Penyeliaan,
derajat kewajaran penyeliaan yang dirasakan diterima oleh tenaga kerja.
3. Gaji,
derajat kewajaran dari gaji yang diterima sebagai imbalan unjuk-kerjanya.
4. Hubungan
antarpribadi, derajat kesesuaian yang dirasakan dalam berinteraksi dengan
tenaga kerja lainnya.
5. Kondisi
kerja, derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses pelaksanaan tugas
pekerjaannya.
Faktor-faktor
yang termasuk dalam kelompok factor motivator cenderung merupakan factor-faktor
yang menimbulkan motivasi kerja yang lebih bercorak proaktif, sedangkan
factor-faktor yang termasuk dalam kelompok faktor hygiene cenderung menghasilkan motivasi kerja yang lebih reaktif.
- Teori
Motivasi Berprestasi (Achievement
Motivation)
Teori
motivasi berprestasi dikembangkan oleh David McClelland. Lebih tepatnya teori
ini disebut teori kebutuhan dari McClelland, karena ia tidak saja meneliti
tentang kebutuhan untuk berprestasi (need
for achievement), tapi juga tentang kebutuhan untuk berkuasa (need for power), dan kebutuhan untuk
berafiliasi/berhubungan (need for
affiliation).
Kebutuhan
untuk berprestasi (Need for Achievement).
Ada sementara orang yang memiliki dorongan yang kuat untuk berhasil. Mereka
lebih mengejar prestasi pribadi daripada imbalan terhadap keberhasilan. Mereka
bergairah untuk melakukan sesuatu lebih baik dan lebih efisien dibandingkan
hasil sebelumnya. Dorongan ini yang disebut
kebutuhan untuk berprestasi (the
achievement need = nAch).
Kebutuhan
untuk berkuasa (Need for Power).
Kebutuhan kedua ialah kebutuhan untuk berkuasa (need for power = nPow).
Kebutuhan untuk berkuasa ialah adanya keinginan yang kuat untuk mengendalikan
orang lain, untuk mempengaruhi orang lain, dan untuk memiliki dampak terhadap
orang lain. Orang dengan kebutuhan untuk berkuasa yang besar menyukai
pekerjaan-pekerjaan dimana mereka menjadi pimpinan, dan mereka berupaya
mempengaruhi orang lain.
Kebutuhan
untuk berafiliasi (Need for Affiliation).
Kebutuhan yang ketiga ialah kebutuhan untuk berafiliasi (need for affiliation = nAff). Kebutuhan ini yang paling sedikit
mendapat perhatian dan paling sedikit diteliti. Orang-orang dengan kebutuhan
untuk berafiliasi yang tinggi ialah orang-orang yang berusaha mendapatkan
persahabatan. Mereka ingin disukai dan diterima oleh orang lain. Mereka lebih
menyukai situasi-situasi kooperatif dari situasi kompetitif, dan sangat
menginginkan hubungan-hubungan yang melibatkan saling pengertian dalam derajat
yang tinggi. Mereka akan berusaha untuk menghindari konflik.
- Teori
Penetapan Tujuan (Goal Setting
Theory)
Locke
mengusulkan model kognitif, yang dinamakan teori tujuan, yang mencoba
menjelaskan hubungan-hubungan antara niat/intentions
(tujuan-tujuan) dengan perilaku. Teori ini secara relative lempang dan
sederhana. Aturan dasarnya ialah penetapan dari tujuan-tujuan yang cukup sulit,
khusus dan pernyataannya jelas dan dapat diterima oleh tenaga kerja, akan
menghasilkan unjuk-kerja yang lebih tinggi daripada tujuan-tujuan yang taksa,
tidak khusus, dan yang mudah dicapai.
Penetapan
tujuan dapat ditemukan juga dalam teori motivasi harapan. Individu menetapkan
sasaran pribadi yang ingin dicapai. Sasaran-sasaran pribadi memiliki nilai
kepentingan pribadi (valence) yang
berbeda-beda
Proses
penetapan tujuan (goal setting) dapat dilakukan berdasarkan prakarsa sendiri,
dapat, seperti pada MBO, diwajibkan oleh organisasi sebagai satu kebijakan
perusahaan. Bila didasarkan oleh prakarsa sendiri dapat disimpulkan bahwa
motivasi kerja individu bercorak proaktif dan ia akan memiliki keikatan (commitment) besar untuk berusaha
mencapai tujuan-tujuan yang telah ia tetapkan. Bila seorang tenaga kerja
memiliki motivasi kerja yang lebih bercorak reaktif, pada saat ia diberi tugas
untuk menetapkan sasaran-sasaran kerjanya untuk kurun waktu tertentu, dapat
terjadi bahwa keikatan terhadap usaha mencapai tujuan tersebut tidak terlalu
besar.
2. Teori
tentang pola kepemimpinan
- Pola
Kepemimpinan Otokratik
Tipe
kepemimpinan yang otoriter biasanya berorientasi kepada tugas. Artinya dengan
tugas yang diberikan oleh suatu lembaga atau suatu organisasi, maka
kebijaksanaan dari lembaganya ini akan diproyeksikan dalam bagaimana ia
memerintah kepada bawahannya agar kebijaksanaan tersebut dapat tercapai dengan
baik. Di sini bawahan hanyalah suatu mesin yang dapat digerakkan sesuai dengan
kehendaknya sendiri, inisiatif yang datang dari bawahan sama sekali tak pernah
diperhatikan.
Kepemimpinan otokratis memiliki ciri-ciri antara lain:
(1) mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan mutlak yang harus dipatuhi, (2)
pemimpinnya selalu berperan sebagai pemain tunggal, (3) berambisi untuk merajai
situasi, (4) setiap perintah dan kebijakan selalu ditetapkan sendiri, (5)
bawahan tidak pernah diberi informasi yang mendetail tentang rencana dan
tindakan yang akan dilakukan, (6) semua pujian dan kritik terhadap segenap anak
buah diberikan atas pertimbangan pribadi, (7) adanya sikap eksklusivisme, (8)
selalu ingin berkuasa secara absolut, (9) sikap dan prinsipnya sangat
konservatif, kuno, ketat dan kaku, (10) pemimpin ini akan bersikap baik pada bawahan apabila mereka patuh.
Kelebihan gaya kepemimpinan Otokratik:
- Keputusan dapat diambil secara cepat
- Mudah dilakukan pengawasan
Kelemahan gaya kepemimpinan Otokratik:
- Keberhasilan
yang dicapai adalah karena ketakutan bawahan terhadap atasannya dan bukan
atas dasar keyakinan bersama.
- Disiplin
yang terwujud selalu dibayang-bayangi dengan ketakutan akan hukuman yang
keras bahkan pemecatan.
- Pemimpin yang diktator tidak menghendaki rapat atau musyawarah.
- Setiap perbedaan
diantara anggota kelompoknya diartikan sebagai kelicikan, pembangkangan,
atau pelanggaran disiplin terhadap perintah atau instruksi yang telah
diberikan.
- Inisiatif dan
daya pikir anggota sangat dibatasi, sehingga tidak diberikan kesempatan
untuk mengeluarkan pendapatnya.
- Pengawasan bagi
pemimpin yang diktator hanyalah berarti mengontrol, apakah segala perintah
yang telah diberikan ditaati atau dijalankan dengan baik oleh anggotanya.
- Mereka melaksanakan
inspeksi, mencari kesalahan dan meneliti orang-orang yang dianggap tidak
taat kepada pemimpin, kemudian orang-orang tersebut diancam dengan hukuman,
dipecat, dsb. Sebaliknya, orang-orang yang berlaku taat dan menyenangkan
pribadinya, dijadikan anak emas dan bahkan diberi penghargaan.
- Kekuasaan berlebih
ini dapat menimbulkan sikap menyerah tanpa kritik dan kecenderungan untuk
mengabaikan perintah dan tugas jika tidak ada pengawasan langsung.
- Pola
Kepemimpinan Demokratik
Pemimpin ikut berbaur di tengah anggota-anggota
kelompoknya. Hubungan pemimpin dengan anggota bukan sebagai majikan dengan
bawahan, tetapi lebih seperti kakak dengan saudara-saudaranya. Dalam tindakan
dan usaha-usahanya ia selalu berpangkal kepada kepentingan dan kebutuhan
kelompoknya, dan mempertimbangkan kesanggupan dan kemampuan kelompoknya. Dalam
melaksanalan tugasnya, ia mau menerima dan bahkan mengharapkan pendapat dan
saran-saran dari kelompoknya. Ia mempunyai kepercayaan pula pada anggota-anggotanya
bahwa mereka mempunyai kesanggupan bekerja dengan baik dan bertanggung jawab.
Ia selalu berusaha membangun semangat anggota kelompok dalam menjalankan dan
mengembangkan daya kerjanya dengan cara memupuk rasa kekeluargaan dan
persatuan. Di samping itu, ia juga memberi kesempatan kepada anggota
kelompoknya agar mempunyai kecakapan memimpin dengan jalan mendelegasikan
sebagian kekuasaan dan tanggung jawabnya.
- Kekurangan Pola Kepemimpinan Demoktarik
Kekurangan dari kepemimpinan
demokratik adalah, karena di sini seorang pemimpin memberikan kesempatan dan
hak yang seluas-luasnya kepada para stafnya, maka mereka memiliki banyak
sekali pendapat yang berbeda,sehingga pemimpin sulit menentukan pendapat
yang sesuai dengan anggota yang tidak menyetujui kesepakatan forum yang ada,
maka terkadang terjadi suatu konflik atau perdebatan antara anggota forum
dengan sehingga Proses pengambilan keputusan akan memakan waktu yang lebih
banyak serta sulitnya pencapaian kesepakatan
- Kelebihan Pola Kepemimpinan Demokratik
Kelebihan gaya kepemimpinan
demokratik dapat menampung aspirasi dan keinginan bawahan sehingga dapat
menumbuhkan rasa memiliki terhadap organisasi pada umumnya dan pekerjaan pada
khususnya. Kelemahan gaya kepemimpinan yang demokratik cenderung menghasilkan
keputusan yang disukai daripada keputusan yang tepat
- Pola
Kepemimpinan Permisif (Laissez Faire)
Tipe
kepemimpinan yang permisif atau laissez faire bisa bermakna serba boleh, serba
mengiyakan, tidak mau ambil pusing, tidak bersikap dalam makna sikap
sesungguhnya, dan apatis. Pemimpin permisif tidak mempunyai pendirian yang
kuat, sikapnya serba boleh. Bawahan tidak mempunyai pegangan yang jelas,
informasi diterima simpang siur dan tidak konsisten.
Pada
tipe kepemimpinan ini praktis pemimpin tidak memimpin, dia membiarkan
kelompoknya dan setiap orang berbuat semaunya sendiri. Pemimpin tidak
berpartisipasi sedikit pun dalam kegiatan kelompoknya. Semua pekerjaan dan
tanggung jawab harus dilakukan oleh bawahannya sendiri. Pemimpin hanya
berfungsi sebagai simbol, tidak memiliki keterampilan teknis, tidak mempunyai
wibawa, tidak bisa mengontrol anak buah, tidak mampu melaksanakan koordinasi
kerja, tidak mampu menciptakan suasana kerja yang kooperatif. Kedudukan sebagai
pemimpin biasanya diperoleh dengan cara penyogokan, suapan atau karena sistem
nepotisme. Oleh karena itu organisasi yang dipimpinnya biasanya morat marit dan
kacau balau
Kekurangan dan kelebihan Pola
Kepemimpinan Permisif
- Kekurangan; Pemimpin
sama sekali tidak memberikan control dan koreksi terhadap pekerjaan
bawahannya, Pembagian tugas dan kerja sama diserahkan sepenuhnya
kepada bawahannya tanpa petunjuk atau saran-saran dari pemimpin. Dengan
demikian mudah terjadi kekacauan-kekacauan dan bentrokan-bentrokan, Tingkat
keberhasilan anggota dan kelompok semata-mata disebabkan karena kesadaran
dan dedikasi beberapa anggota kelompok, dan bukan karena pengaruh dari
pemimpin.
- Kelebihan: Keputusan
berdasarkan keputusan anggota, Tidak ada dominasi dari pemimpin
Sumber:
Munandar, A. S. (2008). Psikologi industri dan organisasi. Jakarta:
UI-Press.