Jumat, 29 November 2013

Psikologi Industri dan Organisasi

STRESS  KERJA
1.    Pengertian
a.       Menurut Morgan dan King
Stress adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol.
b.      Menurut Cooper dan Hanger
Stress juga didefinisikan sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subjek (Cooper, 1994).
Menurut Hanger (1999), stress sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak nila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya
c.       Stress adalah satu abstraksi
Menurut Dr. Hans Selye, guru besar emiritus (purnawirawan) dari Universitas Montreal dan “penemu” stress. Ia tertarik pada bagaimana cara stress mempengaruhi badan. Ia mengamati serangkaian perubahan biokimia dalam sejumlah organisme yang beradaptasi terhadap berbagai macam tuntutan  lingkungan. Rangkaian perubahan ini ia namakan general adaptation syndrome yang terdiri dari tiga tahap. Tahap Pertama, ia namakan tahap ‘alarm’ (tanda bahaya). Organisme berorientasi terhadap tuntutan yang diberikan oleh lingkungannya dan mulai menghayatinya sebagai ancaman, tahap ini tidak dapat tahan lama. Organisme memasuki Tahap Kedua, tahap resistance (perlawanan), organisme memobilisasi sumber-sumbernya supaya mampu menghadapi tuntutan, jika tuntutan berlangsung lama maka sumber-sumber penyesuaian ini mulai habis dan organisme mencapai tahap terakhir, yaitu tahap exhaustion  (kehabisan tenaga).
Jika diterapkan pada orang, maka sindrom adaptasi umum dari Selye dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut:
Jika seseorang untuk  pertama kali mengalami situasi penuh stress, maka mekanisme pertahanan dalam badan diaktifkan: kelenjar-kelenjar mengeluarkan/ melepaskan adrenalin, cortisone dan hormon-hormon  lain dalam  jumlah yang besar, dan perubahan-perubahan yang terkoordinasi berlangsung dalam sistem saraf pusat (tahap alarm). Jika exposure (paparan) terhadap pembangkit stress bersinambung dan badan mampu menyesuaikan, maka terjadi perlawanan terhadap sakit. Reaksi badaniah yang khas terjadi untuk menahan akibat-akibat dari pembangkit stress (tahap resistance). Tetapi  jika paparan terhadap stress berlanjut, maka mekanisme pertahanan badan secara perlahan-lahan  menurun sampai menjadi tidak sesuai, dan satu dari organ-organ gagal untut berfungsi sepatutnya. Proses pemeunduran ini dapat mengarah ke penyakit dari hampir semua bagian dari badan (tahap exhaustion).
Menurut Seyle jika reaksi badan tidak cukup, berlebihan atau salah, maka reaksi  badan itu sendiri dapat menimbulkan penyakit. Hal ini dinamakan diseases of adaptation (penyakit dari adaptasi), karena penyakit-penyakit tersebut lebih disebabkan oleh reaksi adaptif yang kacau dari badan kita dari pada oleh hasil yang merusak langsung dari penimbul stress. Misalnya gastrointestinal ulcers (puru/nanah dari perut), tekanan darah tinggi, penyakit jantung (cardiac incidents), alergi, dan berbagai jenis kekacauan /gangguan mental. Syndrome adaptasi umum ini dapat beroperasi pada tingkat yang berbeda-beda, dari subsistem sampai keseluruhan organisme.
Pandangan Selye ini mendapat kritik dari sejumlah penelitian. Stress menurut mereka tidak dapat dipandang hanya sebagai suatu jawaban. Stress harus dilihat sebagai fungsi dari individu yang menafsirkan situasi. Reaksi orang tidak sama  terhadap situasi stress yang sama. Orang tidak memberikan jawaban langsung terhadap rangsang, tetapi terhadap arti yang diberikan kepada rangsang. Contoh : orang tidak langsung minum kalau melihat gelas yang berisi cairan. Jika gelas berisi cairan yang tidak bermakna baginya, maka ia membiarkan gelas tersebut. Dan jika ia rasakan bermakna gelas berisi cairan tersebut, misalnya dia haus, atau ia mengira cairan itu cairan air dingin yang ia senangi, maka ia akan mengambil gelas tersbut dan meminumnya.
Penelitian sekarang tentang stress didasarkan pada asumsi bahwa stress, yang disimpulkan dari gejala-gejala dan tanda-tanda perilaku, psikologikal, dan somatik adalah hasil dari tidak/kurang adanya kecocokan antar orang (dalam arti kepribadiannya, bakatnya dan kecakapannya) dan lingkungannya, yang mengakibatkan ketidakmampuannya untuk menghadapi berbagai tuntutan terhadap dirinya secara efektif (Fincham & Rhodes,1988).
Pada umunya kita merasakan bahwa stress merupakan suatu kondisi yang negatif, suatu kondisi yang mengarah timbulnya penyakit fisik ataupun mental, atau yang mengarah keperilaku yang tidak wajar. Selye membedakan antara distress, yang destruktif dan eustress, yang merupakan kekuatan yang positif (eustress mengandung suku awal yang dalam bahawa yunani berarti ‘baik’, seperti yang terdapat dalam  kata euphoria). Stress diperlukan untuk menghasilkan prestasi yang tinggi.
Makin tinggi dorongannya untuk berprestasi, makin tinggi tingkat stressnya dan tinggi juga produktivitas dan efisiennya.  Stress dalam jumlah tertentu  dapat mengarah ke gagasan-gagasan yang inovatif dan keluaran yang konstruktif. Jika orang terlalu ambisius, memiliki dorongan kerja yang besar atau  jika beban kerja menjadi berlebih, tuntutan pekerjaan tinggi, maka unjuk-kerja menjadi rendah lagi. Stess menguras kesehatan orangnya, kekuatannya. Tanda-tanda beban  mulai berlebihan  ialah  mudah tersinggung, kelelahan fisikal dan mental, ketidaktegasan, hilangnya obyektivitas, kecendrungan berbuat salah, kekhilafan dalam ingatan, dan hubungan interpersonal yang tegang.
Stress yang meningkat sampai unjuk-kerja mencapai titik optimalnya merupakan stress yang baik, yang menyenangkan, eustress. Dekat, sebelum mencapai titik optimalnya, peristiwanya atau situasinya dialami sebagai tantangan yang merangsang. Melewati titik optimal stress menjadi distress, peristiwanya atau situasinya dialami sebagai ancaman yang mencemaskan.
Meskipun sebab-sebab stress adalah khusus (misalnya teguran dari atasan, pertengkaran dengan istri, masalah  keuangan) dan hasil dari stress juga khusus (misalnya sakit perut, sakit kepala, serangan jantung, tekanan darah tinggi) tidak ada sebab khusus yang menghasilkan hasil khusus. Dengan kata lain tidak ada hubungan langsung antara suatu faktor stress dan suatu dari badan yang tidak berfungsi baik.
Untuk kebanyakan orang, stress tidak cepat menyebabkan sakit keras. Stress diungkapkan melalui gejala-gejala umum, seperti somnabulisme (tidak dapat tidur), merokok berat, peminum minuman keras, khawatir, mudah tersinggung, gelisah, sulit berkonsentrasi dalam pengambilan keputusan, dan masa-masa lelah yang panjang. Keadaan ini bagi seseorang dapat menghasilkan penurunan dalam unjuk-kerjanya, bagi orang lain hanya sampai dapat dirasakan sebagai gangguan bagi orang lain disekitarnya.
Everly dan Girdano (1980) mengajukan daftar ‘tanda-tanda dari adanya distress’. Menurut mereka, stress akan mempunyai dampak pada suasana hati (mood), otot kerangka(musculoskeletal) dan organ-organ dalam (visceral).
                        Tanda-tanda adanya distress-nya ialah sebagai berikut :
1.      Tanda-tanda suasana hati (mood) :
-          Menjadi overexcited
-          Cemas
-          Merasa tidak pasti
-          Sulit tidur pada malam hari (somnabulisme)
-          Menjadi mudah bingung dan lupa
-          Menjadi sangat tidak enak (uncomfortable) dan gelisah (ill at ease)
-          Menjadi gugup (nervous)

2.      Tanda-tanda otot kerangka (musculoskeletal) :
-          Jari-jari dan tangan gemetar
-          Tidak dapat duduk diam atau berdiri ditempat
-          Mengembangkan tic (gerakan tidak sengaja)
-          Kepala mulai sakit
-          Merasa otot menjadi tegang dan kaku
-          Menggagap jika berbicara
-          Leher menjadi kaku

3.      Tanda-tanda organ dalam badan (visceral)
-          Perut terganggu
-          Merasa jantung berdebar
-          Banyak berkeringat
-          Tangan berkeringat
-          Merasa kepala ringan atau akan pingsan
-          Mengalami kedinginan (cold chills)
-          Wajah menjadi panas
-          Mulut menjadi kering
-          Mendengar bunyi berdering dalam kuping
-          Mengalami rasa akan tenggelam dalam perut (sinking feeling)
2.    Pembangkit Stress (Stressors)
Setiap aspek dipekerjaan dapat menjadi pembangkit stress. Tenaga kerja yang menetukan sejauh mana situasi yang dihadapi merupakan situasi stress atau tidak. Tenaga kerja dalam interaksinya dipekerjaan, dipengaruhi pula oleh hasil interaksinya ditempat lain, dirumah, disekolah, diperkumpulan,dan sebagainnya. Sumber stress yang menyebabkan seseorang tidak berfungsi optimal atau yang menyebabkan orang jatuh sakit, tidak saja datang dari satu macam pembangkit stress saja tetapi dari beberapa pembangkit stress. Sebagian besar dari waktu manusia bekerja. Karena itu lingkungan pekerjaan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kesehatan seseorang yang bekerja. Pembangkit stress di pekerjaan merupakan pembangkit stress yang besar perannya terhadap kurang berfungsinya atau jatuh sakitnya seseorang tenaga kerja yang bekerja.
Faktor-faktor di pekerjaan yang berdasarkan penelitian dapat menimbulkan stress dapat dikelompokan kedalam lima kategori besar, yaitu faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, peranan dalam organisasi, pengembangan karier, hubungan dalam pekerjaan, serta struktur dan iklim organisasi. (hurrell,dkk.1988).
2.1         Faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan
Termasuk dalam kategori ini ialah tuntutan fisik dan tuntutan tugas. Tuntutan fisik meliputi : bising, vibrasi, hygiene. Sedangkan faktor-faktor tugas mencakup : kerja shift/kerja malam, beban kerja, dan penghayatan dari risiko bahaya.
a.       Tuntutan Fisik
Kondisi kerja tertentu dapat menghasilkan prestasi kerja yang optimal. Disambing dampaknya terhadap prestasi kerja, kondisi kerja fisik memiliki dampak juga terhadap kesehatan mental dan keselamatan kerja seorang tenaga kerja. Kondisi fisik kerja mempunyai pengaruh terhadap kondisi faal dan psikologis diri seseorang tenaga kerja. Kondisi fisik dapat merupakan pembangkit stress (stressor)
Bising: bising selain dapat menimbulkan gangguan sementara atau tetap pada aalt pendengaran  kita, juga dapat merupakan sumber stress yang  menyebabkan peningkatan dari kesiagaan dan ketidakseimbangan psikologis kita. Kondisi demikian memudahkan timbulnya kecelakaan. Misalnya tidak mendengar suara-suara peringatan, sehingga timbul kecelakaan. Ivancevich dan Matteson (1980) berpendapat bahwa bising yang berlebihan (sekitar 80 desibel) yang berulangkali didengar, untuk jangka waktu lama, dapat menimbulkan stress. Dampak psikososial dari bising yang berlebih ialah mengurangi toleransi dari tenaga kerja terhadap pembangkit stress yang lain, dan menurunkan motivasi kerja. Bising oleh para pekerja pabrik (blue-collar workes) dinilai sebagai pembangkit stress yang membahayakan.
Vibrasi (getaran) : vibrasi merupakan sumber stress yang kuat yang mengakibatkan peningkatan taraf catecholamine dan perubahan dari berfungsinya seseorang secara psikologikal dan neurological.
Vibrasi atau getaran yang beralih dari benda-benda fisik kebadan dapat memberi pengaruh yang tidak baik pada unjuk-kerja. Frankenhaeuser dan Gardell (1976) menemukan taraf-taraf catecholamine yang meningkat secara nyata padapekerja perakitan dalam suatu  pabrik penggergajian dibandingkan dengan pekerja perawatan (maintenance dan repair) dari pabrik yang sama. Pada pekerjaan drilling getaran dari pekerjaan ini dalam jangka panjang akan dapat membahayakan. Dalam penelitian dari Sutherland dan Cooper (1986) ditemukan bahwa kondisi kerja yang tidak menyenangkan karena adanya getaran dinilai sebagai pembangkit stress oleh 37% dari pekerja.
Hygiene : lingkungan yang kotor dan tidak sehat merupakan pembangkit stress. Para pekerja dari industri baja menggambarkan kondisi berdebu dan kotor, akomodasi pada waktu istirahat yang kurang baik, juga toilet yang kurang memadai hal ini dinilai oleh para pekerja sebagai faktor tinggi pembangkit stress.

b.      Tuntutan Tugas.
Kerja shift/kerja malam : penelitian menunjukan bahwa kerja shift merupakan sumber utama dari stress bagi para pekerja pabrik(Monk & Tepas, 1985). Para pekerja shift lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut dari pada para pekerja pagi/ siang dan dampak dari kerja shift terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan-gangguan perut. Penggaruh ya adalah emosional dan biologikal karena gangguan ritme circandian dari tidur/daur keadaan bangun (wake cycle), pola suhu, dan ritme pengeluaran adrnalin.
Menurut Monk dan Folkard (1983) ada tiga faktor yang harus baik keadaannya agar dapat berhasil menghadapi kerja shift : tidur, kehidupan sosial dan keluarga, dan ritme circandian. Faktor-faktor tersbut saling berkaitan, sehingga salah satu dapat membatalkan efek positif dari keberhasilan yang telah dicapai dengan kedua faktor lain.
Menurut Selye para pekerja yang biasa bekerja shift lama kalemaan akan merasa berkurang stressnya secara fisik. Namun perlu diingat bahwa ada pekerjaan-pekerjaan shift dimana tidak dapat timbul kebiasaan ini, yaitu pada pekerja ring lepas pantai yang bekerja 12 jam kerja bergantian shift siang dan malam selama 7 atau 14 hari berturut-turut tanpa adanya istirahat, dan kemudian memperoleh 7 atau 14 hari cuti rumah (sutherland dan Cooper, 1986).
Beban kerja : beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit merupakan pembangkit stress. Beban kerja dapat dibedakan lebih lanjut kedalam beban kerja berlebih/terlalu sedikit ‘kuantitatif’ yang timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang terlalu banyak/sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu, dan bahan kerja berlebih/terlalu sedikit ‘kualitatif’ yaitu jika orang meras tidak mampu untuk melakukan suatu tugas tidak menggunakan keterampilan dan potensi dari tenaga kerja. Dalam rangka ini teknologi baru dapat menimbulkan baik beban kerja terlalu sedikit. Disamping itu beban kerja berlebih kuantitatif dan kualitatif dapat menimbulkan kebutuhan untuk bekerja selama jumlah jam yang sangat banyak, yang merupakan sumber tambahan dari stress.
1.    Beban berlebih kuantitatif
Beban berlebih secara fisikal ataupun mental, yaitu harus melakukan terlalu banyak hal, merupakan kemungkinan sumber stress pekerjaan. Unsur yang menimbulkan beban berlebih kuantitatif ini ialah desakan waktu. Waktu dalam masyarakat industri merupakan satu unsur yang sangat penting. Setiap tugas diharapkan diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat. Mesin yang memproduksi barang diusahakan untuk dapat memproduksi barang dalam waktu sesingkat mungkin. Waktu merupakan salah satu ukuran efisiensi.
Pada saat-saat tertentu, dalam hal-hal tertentu waktu akhir (deadline) justru dapat meningkatkan motivasi dan menghasilkan prestasi kerja yang tinggi. Namun bila desakan waktu menyebabkan timbulnya banyak kesalahan atau menyebabkan kondisi kesehatan seseorang berkurang, maka ini merupakan cerminan adanya beban berlebih kuantitatif. Pada saat ini desakan waktu menjadi destruktif.
Ancaman akan adanya beban berlebih kuantitatif mempunyai pengaruh yag tidak baik pada para pekerja. Pada amasa dilakukan analisis waktu gerak pada pekerja, mereka memperlihatkan rasa tidak senang dan curiga. Para pekerja tidak senang dengan persepsi manajemen yang mengatakan kepada mereka untuk do more work in less time. Dalam beberapa kasus analisis semacam itu mengakibatkan dilakukannya pelambatan kerja (work slow down) dan sabotage.

2.    Beban terlalu sedikit kuantitatif.
Beban kerja terlalu sedikit juga mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Kemajuan teknologi dan peningkatan otomasi dalam industri disatu pihak dapat mengarah pada makin menjadinya majemuk pekerjaan, dilain pihak, pada tingkat teknologi menengah, mengarah pada penyederhanaan pekerjaan.
Bentuk lain yang merupakan pembangkit stress juga ialah adanya fluktuasi dalam beban kerja. Untuk jangka waktu tertentu bebannya sangat ringan, untuk saat-saat lain bebannya malah berlebihan . situasi tersebut dapat kita jumpai pada tenaga kerja yang mengatur perjalanan bagi  orang lain pada biro-biro perjalanan, yang menjadi pemandu wisata tenaga kerja (baik klerikal maupun profesional) yang bekerja dibiro-biro konsultasi, pramuniaga ditoko-toko, dan sebagainnya. Keadaan yang tidak tetap ini menimbulkan kecemasan, ketidakpuasan kerja dan kecendrungan hendak meninggalkan pekerjaan.

3.    Beban berlebihan kualitatif
Kemajemukan pekerjaan ini yang mengakibatkan adanya beban berlebihan kualitatif.makin tinggi kemajemukan pekerjaannya makin tinggi stressnya. Kemajemukan pekerjaan yang harus dilakukan seorang tenaga kerja dapat dengan mudah berkembang menjadi beban berlebihan kualitatif jika kemajemukannya memerlukan kemampuan teknikal dan  intelektual yang lebih tinggi dari pada yang dimiliki.
Kemajemukan pekerjaan menurut Everly & Girdano (1980), biasanya meningkat karena faktor-faktor berikut :
·      Peningkatan dari jumlah informasi yang harus digunakan.
·      Peningkatan dari canggihnya informasi atau dari keterampilan yang diperlukan pekerjaan
·      Perluasan atau tambahan alternatif dari metode-metode pekerjaan
·      Introduksi dari rencana-rencana contigency
Penelitian menunjukan bahwa kelelahan emosional dan mental, sakit kepala, dan gangguan-gangguan pada perut merupakan hasil dari kondisi kronis dari beban berlebih kualitatif.
Penelitian lain menunjukan bahwa beban berlebih kualitatif sebagai sumber stress secara nyata berkaitan dengan rasa harga diri yang rendah.

4.    Beban terlalu sedikit  kualitatif
Beban terlalu sedikit kulaitatif dapat merusak pengaruhnya seperti beban berlebihan kualitatif, dalam hal tenaga kerja tidak diberi peluang untuk menggunakan keterampilan yang diperolehnya, atau untuk mengembangkan kecakapan potensialnya secara penuh. Disinipun dapat timbul kebosanan dan gangguan dalam perhatian sehingga dapat mengakibatkan hal-hal yang parah .
Beba terlalu sedikit yang disebabkan kurang adanya rangsangan akan mengarah kesemangat dan motivasi yang rendah untuk kerja. Tenaga kerja akan merasa bahwa ia tidak maju-maju, dan merasa tidak berdaya untuk memperlihatkan bakat dan keterampilannya (Sutherland & Cooper,1988).
Menurut Udris, beban berlebihan kualitatif berhubungan dengan ketidakpuasan,ketegangan,harga diri rendah, sedangkan beban terlalu sedikit berkaitan dengan depresi, cepat tersinggung dan keluhan psikosomatik.

5.      Beban berlebihan kuantitatif dan kualitatif.
Proses pengambilan keputusan merupakan satu kombinasi yang unik dari fatror-faktor yang dapat mengarah ke berkembangnya kondisi-kondisi beban berlebihan kuantitatif dan kualitatif pada waktu yang sama.
Faktor-faktor berikut ini yang menentukan derajat besarnya stress dalam proses pengambilan keputusan (Everly & Girdano,1980).
·         Pentingnya akibat-akibat dari keputusan
·         Derajat kemajemukan keputusan
·       Kelengkapan informasi yang dimiliki
·         Yang bertanggung jawab terhadap keputusan
·         Jumlah waktu yang diberikan untuk proses pengambilan keputusan.
·         Harapan dari keberhasilan.
Terlalu banyak atau terlalu sedikit informasi yang dimiliki yang dirasakan diterima oleh seorang tenaga kerja, kedua-duanya akan dapat menimbulkan stress. Terlalu banyak informasi, berarti kesulitan mengolah semua informasi, terlalu sedikit informasi menyebabkan kita mulai mereka-reka, menduga-duga, yang menimbulkan ketegangan dalam diri kita yang kita rasakan sebagai stress.
Faktor waktu juga perlu dipertimbangkan. Makin singkat waktu yang diberikan dalam proses pengambilan keputusan makin dirasakan desakan waktu makin besar stressnya.
Jumlah dari stress yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan dapat diungkapkan sebagai berikut : stres pengambilan keputusan = kepentingan + kemajemukan + kurang informasi + tanggung jawab + kurang waktu + kurang kepercayaan.
Paparan terhadap risiko dan bahaya : risiko dan bahaya digandengkan dengan jabatan tertentu merupakan sumber dari stress. Kelompok-kelompok jabatan yang dianggap memiliki risiko tinggi, dalam arti kata secara fisikal berbahaya , antara lain polusi, pekerja tambang, tentara, pagawai dilembaga pemasyarakatan,pegawai mobil kebakaran, pekerja pada eksplorasi gas dan minyak, dan pada instalasi produksi.

2.2         Peran Individu dalam Organisasi.
Setiap tenaga bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi artinya setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus ia lakukan sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh atasannya. Namun demikian tenaga kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan perannya tanpa menimbulkan masalah. Kurang baik berfungsinya (dysfunction) peran, yang merupakan pembangkit stress, yang akan dibicarakan disini ialah konflik peran dan ketaksaan peran (role ambiguity).
a.    Konflik Peran.
Konflik peran timbul jika seorang tenaga kerja mengalami adanya :
1.    Perentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan dan antara tanggung jawab yang harus ia miliki.
2.    Tugas-tugas yang harus ia lakukan tyang menurut pandangannya bukan merupakan bagian dari pekerjaannya.
3.    Tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahannya, atau orang lain yang dinilai penting bagi dirinya
4.    Pertentangan dengan nilai-nilai dan  keyakinan pribadinya sewaktu melakukan tugas pekerjaannya.
Stress timbul karena ketidakcakapannya untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dan berbagai harapan tentang dirinya. Van Sell dkk (1981) dan Kahn dkk (1964) menemukan bahwa tenaga kerja yang menderita konflik peran yang lebih banyak memiliki kepuasan kerja yang lebih rendah dan ketegangan pekerjaan yang lebih tinggi. Konflik peran juga berkaitan dengan stress fisiologikal.
French dan Caplan (1970) menemukan bahwa peningkatan detak jantung dan rasa tegang pada pekerjaan para tenaga kerja priakantor mempunya kaitan yang erat dengan konflik peran yang dilaporkan
Miles dan Perreault (1976) membedakan empat jenis konflik peran :
1.      Konflik peran pribadi : tenaga kerja ingin melakukan tugas berbeda dari yang disarankan dalam uraian pekerjaannya.
2.      Konflik intrasender : tenaga kerja menerima penugasan tanpa memiliki tenaga kerja yang cukup untuk dapat menyelesaikan tugas dengan berhasil
3.      Konflik intersender : tenaga kerja diminta untuk berperilaku  sedemikian rupa sehingga ada orang merasa puas dengan hasilnya sedangkan orang lain tidak.
4.      Peran dengan beban berlebih : tenaga kerja mendapat penugasanlerja yang terlalu banyak dan tidak dapat ia tangani secara efektif.
Hasil penelitian tidak jelas menunjukan bahwa konflik peran  merupakan pembangkit stress pada para pekerja pabrik. Menurut Sutherland dan Cooper (1988) mungkin para pekerja pabrik lebih merasakan konflik intersender sebagai pembangkit stress. Menurut Cooper dan Marshall (1978) konflik peran lebih dirasakan sebagai pembangkit stress oleh mereka yang bekerja pada batas-batas organisasi (organizational boundaries) seperti para manajer menengah pada umumnya.
b.   Ketaksaan Peran
Ketaksaan peran dirasakan jika seorang tenaga kerja tidak memiliki cukup infotmasi untuk dapat melaksanankan tugasnya, aau tidak mengerti atau merealisasi harapan-harapan yang berkaitan dengan peran tertentu.
Faktor-faktor yang daat menimbulkan ketangkasan peran menurut Everly dan Girdano ialah :
1.    Ketidakjelasan dari sasaran-sasaran (tujuan-tujuan) kerja
2.    Kesamaran tentang tanggung jawab
3.    Ketidakjelasan tentang prosedur kerja
4.    Kesamaran tentang apa  yang diharapkan tentang orang lain
5.    Kurang adanya balikan atau kertidakpastian tentang unjuk-kerja pekerjaan
Menurut Kahn dkk (1964) stress yang timbul karena ketidakjelasan sasaran akhirnya mengarah ketidakpuasan pekerjaan, kurang memiliki kepercayaan diri, ras diri tidak berguna, rasa harga diri yang menurun , depresi, motivasi rendah untuk bekerja, peningkatan tekanan  darah dan detak nadi, dan kecenderungan untuk meninggalkan pekerjaan.

2.3         Pengembangan Karier (Career Development)
Pengembangan karier mengacu pada job activities pursued over time, which can involve several jobs and various occupations over the course of time (Hall,1976)
Everly dan Girdano menganggap bahwa untuk menghasilkan kepuasan pekerjaan dan mencegah timbulnya frustasi pada para tenaga kerja (yang merupakan bentuk reaksi terhadap stress), perlu diperhatikan tiga unsur yang penting dalam pengembangan karier, yaitu :
1.    Peluang untuk menggunakan keterampilan jabatan sepenuhnya
2.    Peluang mengembangkan keterampilan baru
3.    Penyuluhan karier untuk memudahkan keputusan-keputusan yang menyangkut karier.
Penegmbangan karier merupakan pembangkit stress potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang kurang.

a.    Job Insecurity
Ketakutan kehilangan pekerjaan, ancaman bahwa pekerjaanya dianggap tidak diperlukan lagi merupakan hal-hal biasa yang dapat terjadi dalam kehidupan kerja. Perubahan-perubahan lingkungan menimbulkan masalah baru yang dapat mempunyai dampak pada perusahan. Reorganisasi dirasakan perlu untuk dapat menghadapai perubahan lingkungan dengan lebih baik. Sebagai akibatnya ialah adanya pekerjaan lama yang hilang dan adanya pekerjaan yang baru. Introduksi hasil-hasil teknologi yang canggih kedalam perusahaan juga memberikan dampak pada jumlah dan macam pekerjaan yang ada. Dapat terjadi bahwa pekerjaan-pekerjaan yang baru memerlukan keterampilan yang baru. Setiap reorganisasi menimbulkan ketidakpastian pekerjaan, yang merupakan sumber stress yang potensial.



b.   Over dan Under-Promotion
Setiap organisasi industri mempunyai proses pembuahan masing-masing. Ada yang tumbuhnya cepat dan ada yang lambat, ada pula yang tidak tumbuh atau setelah tumbuh besar mengalami penurunan, organisasinya menjadi lebih kecil. Pola pertumbuhan organisasi berbeda-beda. Salah satu akibat dari proses pertumbuhan ini ialah tidak adanya kesinambungan dari mobilitas vertikal dari para tenaga kerjanya. Peluang dan kecepatan promosi tidak sama setiap saat. Dalam pertumbuhan organisasi yang cepat, banyak kedudukan pimpinan memerlukan tenaga, dalam keadaan sebaliknya, organisasi terpaksa harus memperkecil diri, tidak ada peluang untuk mendapatkan promosi, malahan akan timbul kecemasan akan kehilangan pekerjaan.
Stress yang timbul karena over-promotion memberikan memberikan kondisi yang sama seperti beban  kerja berlebuhan yang telah dibahas diatas, hatga diri yang rendah dihayati oleh seseorang tenaga kerja yang mendapatkan promosi terlalu dini, atau yang dipromosikan kejabatan yang menuntut pengetahuan dan keterampilan yang tidak sesuai dengan bakatnya.
Promosi sendiri dapat merupakan sumber dari stress, jika peristiwa tersebut dirasakan sebagai perubahan darastis yang mendadak, misalnya jika tenaga kerjanya kurang dipersiapkan untuk promosi. Everly dan Girdano mengajukan tiga faktor yang menyebabkan pomosi dirasakan sebagai stress, yaitu :
1.    Perubahan-perubahan nyata dari fungsi pekerjaan, misalnya menjadi fungsi pemantau.
2.    Penambahan tanggung jawab terhadap manusia, produksi dan uang.
3.    Perubahan dalam peran sosial yang menemani promosinya, misalnya menjadi ketua dari berbagai macam panitia, mewakili atau menjadi anggota dari delegasi organisasi dalam negosiasi dengan pihak-pihak lain.




2.4         Hubungan dalam Pekerjaan
Hubungan sosial yang menunjang (supportive) dakan rekan-rekan kerja, atasan, dan bawahan dipekerjaan, tidak akan menimbulkan tekanan-tekanan antarpribadi yang berhubungan dengan persaingan. Kelekatan kelompok, kepercayaan antar pribadi dan rasa senang dengan atasan, berhubungan dengan penurunan dari stress pekerjaan dan kesehatan yang lebih baik. Perilaku yang kurang menenggang rasa dari atasan tampakya menimbulkan rasa tekanan dari pekerjaan yang ketat dan pemantau ujuk kerja yang kaku dapat dirasakan sebagai penuh stress.
Stress juga dapat timbul karena tenaga kerja harus bekerja sama dengan tenaga kerja lain yang berkepribadian kasar, orang yang tidak memperhatikan perasaan dan kepekaan dalam interaksi sosial, dan orang yang dingin. Dilain pihak mereka biasanya orang yang berorientasi prestasi, selalu bekerja keras dan pandai. Jika ia seorang atasan maka ia akan menimbulkan stress yang besar pada para bawahan
Penelitian menunjukan bahwa pekerjaan yang terisolasi, dimana tenaga kerja tidak dapat berbicara dengan tenaga kerja lain selama jam kerja,jadi bekerja sendirian sepanjang hari (misalnya sebagai operator kran, operator mesin pemintalan benang) dan pekerjaan yang berdasarkan tempat sejumlah tenaga kerja harus bekerja dalam ruang yang sempit dapat merukan pembangkit stress. Unjuk kerjanya menurun, tekanan darah meningkat, dan tidak ada kepuasan kerja.

2.5         Struktur dan Iklim Organisasi
Para tenaga kerja mempersepsikan kebudayaan, kebisaan, dan iklim dari organisasi adalah penting dalam memahami sumber-sumber stress potensial sebagai hasil dari beradanya mereka dalam organisasi, kepuasan dan ketidakpuasan kerja berkaitan dengan penilaian dari struktur dan iklim organisasi.
Penelitan menunjukan bahwa kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan suasana hati dan perilaku yang negatif, misalnya menjadi perokok berat. Peningkatan peluang untuk berperan serta menghasilkan peningkatan unjuk-kerja, dan peningkatan taraf dari kesehatan mental dan fisik.

2.6         Tuntutan dari Luar Organisasi/Pekerjaan
Kategori pembangkit stress potensial ini mencakup segala unsur kehidupan seseorang yang dapat berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa kehidupan dan kerja didalam satu organisasi, dan dengan demikian memberi tekanan pada individu.
Isu-isu tentang keluarga, krisis kehidupan, kesulitan keuangan, keyakinan-keyakinan pribadi dan organisasi yang bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan perusahaan, semuanya dapat merupakan tekanan pada individu dalam pekerjaannya, sebagaimana halnya stress dalam pekerjaan mempunyai dampak negatif pada kehidupan keluarga dan pribadi.
Namun demikian, perlu diketahui bahwa peristiwa kehidupan pribadi dapat meringankan akibat dari pembangkit stress organisasi. Jadi support sosial berfungsi sebagai ‘bantal penahan’ stress. Sebaliknya, kepuasan kerja dapat membantu individu untuk menghadapi kehidupan pribadi yang penuh stress dengan berfungsi sebagai bantal penahan juga.

2.7         Ciri-ciri Individu
Pengertian stress bukan sesuatu yang ada dalam situasi, tetapi menurut pandangan interktif  dari stress, stress ditentukan pula oleh individunya sendiri, sejauh mana ia melihat situasinya sebagai penuh stress. Reaksi-reaksi psikologis, fisiologis dan dalam bentuk perilakau terhadap stress adalah hasil dari interaksi situasi dari individunya, mencakup ciri-ciri keperibadian yang khusus dan pola-pola perilaku yang didasarkan pada sikap, kebutuhan, nilai-nilai, pengalama lalu, keadaan kehidupan dan kecakapan (antara lain inteelgensi, pendidikan, pelatihan, pembelajaran). Dengan perkataan lain faktor-faktor dalam  individu berfungsi sebagai faktor pengubah anatara rangsangan dari lingkungan yang merupakan pembangkit stress potensial dengan individu. Faktor pengubah ini yang menentukan bagaimana dalam kenyataannya individu bereaksi terhadap pembangkit stress potensial.




a.    Kepribadian
Kepribadian yang flexibel ( orang yang  lebih terbuka terhadap pengaruh dari orang lain sehingga lebih mudaj mendapatkan beban yang berlebihan) mengalami ketegangan yang lebih besar dalam situasi konflik, dibandingkan dengan mereka yang berkepribadian rigid.
Mereka yang memiliki ciri-ciri aktivitas yang berlebihan (overactivity), keagresifan (aggresiviness), dan rasa bermusuhan (hostility) mempunyai kemungkinan yang besar untuk mendapatkan kecelakaan.
Locus of control: konsep ini didasarkan pada teori pembelajaran sosial bahwa individu belajar dari lingkungan melalui pembuatan model dan pengalaman lampau. Locus of control mengacu pada derajat kendali yang diamati terhadap situasi tertentu yang terberikan. Orang yang berorientasi internal percaya bahwa keputusan dan tindakan pribadi mempengaruhi hasil. Orang yang berorientasi ekstrenal percaya bahwa hasil lebih ditentukan oleh keputusan dan keyakinan dari orang lain atau ditentukan oleh nasib, kekuatan di luar dirinya.
Orang yang ber-locus of control  internal mengalami ancaman lebih sedikit daripada yang berorientasi eksternal.
Tipe A dan Tipe B : Dr.Meyer Friedman dan Dr.Ray rosenman dari Harold Brunn Institute for Cardiovascular Research di San Fransisco menemukenali dua pola perilaku, masing-masing terdiri dari satu perangkat ciri-ciri kepribadian yang majemuk, yaitu Tipe A dan Tipe B.
Orang dari Tipe A digambarkan sebagai orang yang memiliki derajat dari intensitas yang tinggi untuk ambisi, dorongan untuk pencapaian (achievement) dan pengakuan (recognition) kebersaingan (competitiveness) dan kegresifan. Orang tipe A memiliki paksaan untuk bekerja berlebih, selalu bergelut dengan batas waktu atau sering melantarkan aspek-aspek lain dari kehidupan seperti keluarga kejaran sosial (social pursuits), kegiatan-kegiatan waktu luang dan rekreasi.
Sebaliknya pola perilaku orang tipe B digambarkan sebagai lebih menggampangkan (easy going) dan santai. Secara relatif bebas dari rasa mendesak mereka tidak mempunyai konflik berarti dengan orang lain mereka merasa lebih sedikit permusuhan.

b.   Kecakapan
Kecakapan merupakan variabel yang ikut menentukan stress tidaknya suatu situasi yang sedang dihadapi. Jika seorang tenaga kerja menghadapi masalah yang ia rasakan tidak mampu ia pecahkan, sedangkan situasi tersebut mempunyai arti yang penting bagi dirinya, situasi tersebut akan ia rasakan sebagai situasi yang mengancam dirinya sehingga ia mengalami stress.

c.    Nilai dan Kebutuhan
Setiap organisasi mempunyai kebudayaannya masing-masing. Kebudayaan yang terdiri dari keyakinan-keyakinan, nilai-nilai dan norma-norma perilaku yang menunjang organisasi dalam usahanya mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dan pemanduan (integrasi) internal. Para tenaga kerjanya diharapkan berperilaku sesuai dengan norma-norma perilaku yang diterima dalam organisasi. Para tenaga kerja yang baru diterima, melalui proses sosialisasi, berusaha menyesuaikan diri. Proses sosialisais tidak berlangsung lancar untuk semua tenaga kerja. Ada yang gagal, ada yang berhasil, dan ada yang setengah berhasil menyesuaikan diri. Yang gagal memngundurkan diri yang lainnya terus beekrja. Jika dalam proses penyesuaian diri tidak terjadi internalisasi dari nilai-nilai yang penting, hanya terjadi penyesuaian perilaku sesuai dengan norma-norma perilaku yang diterima, maka situasi perbedaan atau bahkan pertentangan nilai ini akan mempertajam perbedaan kebutuhan.

3.    Memanajemeni Stress
Stress dalam pekerjaan dapat dicegah timbulnya dan dapat dihadapi tanpa memperoleh dampaknya yang negatif. Memanajemeni stress berarti berusaha mencegah timbulnya stress, meningkatkan ambang stress dari individu dan menampung akibat fisiologikal dari stress.
Pandangan interaktif mengatakan bahwa stress ditentukan oleh faktor-faktor dari individunya. Dalam  memanajemeni  stress dapat diusahakan untuk :
a.       Mengubah faktor-faktor dilingkungan agar tidak merupakan pembangkit stress.
b.      Mengubah faktor-faktor dalam individu agar :
1.      Ambang stress meningkat tidak cepat merasakan situasi yang dihadapi dengan penuh stress.
2.      Toleransi terhadap stress meningkat dapat lebih lama bertahan dalam situasi yang penuh stress, tidak cepat menunjukan akibat yang merusak dari stress pada badan. Dapat mempertahankan kesehatannya.
Teknik-teknik yang digunakan ialah :
1.      Kerekayasaan organisasi
2.      Kerekayasaan kepribadian (peningkatan kecakapan dan perubahan kebutuhab dan nilai-nilai)
3.      Teknik penenangan pikiran
4.      Teknik penenangan melalui aktivitas fisik

3.1         Kerekayasaan Organisasi
Melalui analisis kerja dan kerekayasaan metode dapat dirancang pola pekerjaan baru bagi pekerjaan yang dirasakan memiliki beban berlebihan. Secara secara kuantitatif banyaknya kegiatan dapat dikurangi, misalnya dengan penambahan tenaga kerja, secara kualitatif dapat dikurangi derajat kemajemukan keterampilan yang diperlukan dan dapat dikurangi tanggung jawabnya juga. Sebaliknya bagi pekerjaan dengan beban terlalu sedikit dapat dilakukan perluasaan pekerjaan (job enlargement) dan pemerkayaan pekerjaan (job enrichment). Dapat pula dilakukan strategi yang diajukan oleh Everly dan Girdano yaitu sasaran berdasarkan kerja (work by-Objectives) dan amanajemen waktu (Time Manegement) yang khusu berlaku untuk para manajer menengah keatas.
Sasaran berdasarkan Kerja (SbK) ini merupakan salah satu teknik yang termasuk dalam jenis manajemen berdasarkan sasaran (Management by Objectives). SbK terdiri dari 4 langkah yaitu :
1.    Menetapkan sasaran realistik bagi satuan kerjanya, yang dapat dicapai dalam waktu yang dimiliki
2.    Merancang perangkat perencanaan, tindakan atau metode untuk dapat mencapai sasaran
3.    Menciptakan strategi untuk dapat mengukur keberhasilannya mencapai sasaran-sasaran pada akhir suatu periode tertentu
4.    Pada akhir waktu yang sudah ditentukan mengukur keberhasilan mencapai sasaran-sasarannya.
Manajemen waktu (MW) emiliki tiga tahap, yaitu :
1.      Analisis waktu
2.     Strategi untuk mengorganisasi
3.      Strategi untuk follow up
Analisis waktu mencakup penaksiran, penyususan prioritas, dan penjadwalan waktu dalam kaitan dengan tuntutan waktu terhadap pekerjaan. Berdasarkan rencana kerja yang dibuat pada SbK dihitung waktu yang diperlukan untuk melaksanakan rencana kerja tersebut. Waktu yang diperlukan kemudian disesuaikan dengan waktu yang tersedia, sedemikian rupa sehingga tugas-tugas dapat diselesaikan sesuai dengan urutan kepentingannya dalam waktu yang tersedia.
Tahap kedua ialah pelaksanaan strategi untuk mengatur beban kerja. Manajer membagi tugas, mendelegasikan  wewenang dan tanggung jawab.
Tahap ketiga ialah strategi follow up. Follow up mencakup penaksiran teratur tentang efisiensi dari analisis waktu dan tahap-tahap pengaturan berikutnya. Dengan follow up diperoleh peluang untuk menyesuaikan strategi-strategi yang cocok anatara kepribadian manajer dengan pekerjaannya.
SbK dan MW khususnya dapat dilakukan untuk pekerjaan-pekerjaan yang dirasakan memeiliki bebena berlebihan.
3.2         Kerekayasaan Kepribadian
Strategi yang digunakan dalam kerekayasaan kepribadian ialah upaya untuk menimbulkan perubahan-perubahan dalam kepribadian individu agar daoat dicegah timbulnya stress dan agar ambang stress dapat ditingkatkan. Perubahan-perubahan yang dituju ialah perubahan dalam hal pengetahuan, kecakapan, keterampilan dan nilai-nilai yang mempengaruhi persepsi dan sikap tenaga kerja terhadap pekerjaannya.
Program pelatihan keterampilan merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja sehingga timbul rasa percaya diri akan kemampuannya untuk melaksanakan pekerjaannya.
Jika tenaga kerja telah mengalami stress, serta stress berakibat teganggunya kesehatan mentalnya, maka psikoterapi dapat diberikan agar ia dapat berfungsi optimal kembali

3.3         Teknik Penenangan Pikiran
Tujuan teknik-teknik penenangan pikiran ialah untuk mengurangi kegiatan pikiran,yaitu proses berpikir dalam bentuk merencana, meningat, berkhayal, menalar yang secara bersinambung kita lakukan dalam keadaan bangun, dalam keadaan sadar. Jika berhasil mengurangi kegiatan pikiran, rasa cemas dan khawatir akan berkurang, kesigapan umum (general arousal) untuk beraksi akan berkurang, sehingga pikiran menjadi tenang, stress berkurang.
Teknik-teknik penenang pikiran meliputi a. Meditasi, b. Pelatihan relaksasi autogenik, c. Pelatihan relaksasi neuromuscular.
a.    Meditasi
Meditasi dapat dianggap sebagai teknik, dapat pula dianggap sebagai suatu keadaan pikiran (mind), keadaan mental. Berbagai teknik seperti yoga, berfikir, relaksasi progresif, dapat menuju tercapainya keadaan mental tersebut.konsentrasi merupakan aspek utama dari teknik-teknik meditasi.
Penelitian menunjukan bahwa selma meditasi aktivitas dari kebanyakan sistem fisik berkurang. Meditasi menyebabkan adanya relaksasi fisik. Pada saat yang sama meditator mengendalikan secara penuh penghayatannya dan mengendalikan emosi, perasaan dan ingatan. Pikiran menjadi tenang, badan berada dalam keseimbangan.

b.   Pelatihan Relaksasi Autogenik
Relaksasi autogenik adalah relaksasi yang ditimbulkan sendiri (auto-genis = ditimbulkan sendiri). Teknik ini berpusat pada gambaran-gambaran berperasaan tertentu yang dihayati bersama dengan terjadinya peristiwa tertentu yang kemudian terkait kuat dalam ingatan, sehingga timbulnya kenangan tentang peristiwa akan menimbulkan pula penghayatan dari gambaran perasaan yang sama.
Pelatihan relaksasi autogenik berusaha mengaitkan penghayatan yang menenangkan dengan peristiwa yang menimbulkan ketegangan, sehingga badan kita terkondisi untuk memberikan penghayatan yang tetap menenangkan meskipun menghadapi peristiwa yang sebelumnya menimbulkan ketegangan.

c.    Pelatihan Relaksasi Neuromuscular.
Pelatihan relaksasi neuromuscular adalah satu program yang terdiri dari latihan-latihan sistematis yang melatih otot dan komponen-komponen sistem saraf yang mengendalikan aktivitas otot. Sasarannya ialah mengurangi ketegangan dalam otot. Karena otot merupakan bagian yang begitu besar dari badan kita, maka pengurangan ketegangan pada otot berarti pengurangan ketegangan yang nyata dari seluruh badan kita.
Individu diajari untuk secara sadar mampu merelakskan otot sesuai dengan kemauannya setiap saat.

3.4         Teknik Penanganan Melalui Aktivitas Fisik
Tujuan utama penggunaan teknik penenangan melalui aktivitas fisik ialah untuk menghamburkan atau untuk menggunakan sampai habis hasil-hasil stress yang diproduksi oleh ketakutan dan ancaman, atau yang mengubah sistem hormon dan saraf kita kedalam sikap mempertahannkan.
Kita dapat melakukan aktivitas fisik sebelum dan sesudah stress. Kita semua merasakan bahwa, dalam menghadapi situasi yang kita rasakan sebagai penuh stress, timbul satu kesigapan umum untuk melakukan sesuatu, timbul tambahan tenaga (untuk ‘melarikan diri’ atau untuk ‘melawan’) yang timbul sebagai akibat perubahan-perubahan dalam sistem hormon dan sistem saraf kita.
Aktivitas yang sesuai dalam hal ini ialah latihan keseluruhan badan, seperti berenang, lari, menari, bersepedaatau olahraga lain selama kurang lebih satu jam.
Menurut Everly dan Girdano latihan fisik dapat paling baik manfaatnya jika dilakukan dalam beberapa jam  setelah timbulnya stress, tetapi setiap saat dalam 24 jam masih akan tetap dapat menolong.
Aktivitas fisik dapat juga dilakukan sebelum stress timbul. Aktivitas fisik memiliki sifat preventif (penghindaran). Selama melakukan aktivitas fisik seluruh sistem badan dirangsang untuk beraksi,bergerak. Setelah kegiatan, sistem-sistemnya memantul dengan cara makin melambat (by slowing down), dengan demikian mendorong ke relaksasi dan ketenangan. Kurang lebih 90 menit setelah latihan fisik yang baik, timbul rasa dari relaksasi yang mendalam. Relaksasi setelah latihan fisik membawa serta sesuatu rasa ‘dingin-tenang-‘ (imperturbabilty), satu reaktivitas terhadap lingkungan yang lebih rendah yang membantu orang, yang secara kronis melakukan latihan-latihan fisik, untuk bereaksi lebih sesuai terhadap rangsangan. Keadaan ini membuat orang melangkah lebih ringan, bersikap lebih positif dan lebih sulit untuk menjadi jengkel.

4.    Jenis-Jenis Stress
a.       Eustress yaitu hasil dari respons terhadap stress yang bersifat sehat, positif dan konstruksif (bersifat membangun)
b.      Distress yaitu hasil dari respons terhadap stress yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destriktif (bersifat menursak)

5.    Sumber-sumber stres kerja
Banyak ahli mengemukakan menganai penyebab stres kerja itu sendiri. Soewondo (1992) mengadakan penelitian dengan 300 sampel karyawan swasta di Jakarta, menemukan bahwa beberapa stress kerja terdiri atas 4 hal utama, yakni :
a.       Kondisi dan situasi pekerjaan
b.      Pekerjaannya
c.       Job requirwmwnt seperti status pekerjaan dan karier yang tidak jelas
d.      Hubungan interpersonal

Luthans (1992) menyebutkan bahwa penyebab stress (stressor) terdiri atas 4 hal utama, yakni :
a.       Extra organizational stressor yang terdiri dari perubahan sosial/teknologi, keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keungan, ras dan kelas, dan keadaan komunitas/ tempat tinggal.
b.      Organizational stressor, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam organisasi
c.       Group stressor, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup, kurangnya dukungan sosial, serta adanya konflik antar individu, antar personal, dan intergrup.
d.      Individual stressor, yang terdiri dari terjadinya konflik dan ketidakjelasan peran, sertadisposisi individu seperti pola kepribadian tipe A, control personal, daya tahan psikologis
Penyebab stress dalam pekerjaan dibagi menjadi dua, yakni:
a.       Group stressor adalah penyebab stress yang berasal dari situasi maupun keadaan didalam perusahaan, misalnya kurangnya kerjasama antar karyawan, konflik antar individu dalam suatu kelompok, maupun kurangnya dukungan sosial dari sesama karyawan didalam perusahaan.
b.      Individual  adalah penyebab stres yang berasal dari dalam diri individu, misalnya tipe kepribadian  seseorang, kontrol personal dan tingkat kepasrahan seseorang, persepsi terhadap diri sendiri, tingkat ketabahan dalam menghdapi konflik peran serta ketidakjelasan peran.

6.    Dampak Stres Kerja Negatif
Pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun perusahaan, pada diri karyawan, konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustasi dan sebagainya (Rice,1999). Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan dengan aktivitas kerja saja , tetapi dapat meluas keaktivitas lain diluar pekerjaan, seperti tidak dapat tidur dengan tenangselera makan berkurang, kurang mampu berkonsentrasi.
Sedangkan Arnold (1986) menyebutkan bahwa ada empat konsekuenis yang dapat terjadi akibat stres kerja yang dialami oleh individu, yaitu terganggunya kesehatan fisik, kesehatan psikologis, performance, serta memengaruhi individu dalam pengambilan keputusan.

7.    Gejala Psikologis
Berikut ini adalah gejala-gejala psikologis yang sering ditemui pada hasil penelitian mengenai stress pekerjaan :
a.       Kecemasan, ketegangan, kebingungan, dan mudah tersinggung.
b.      Perasaan frustasi, rasa marah, dan dendam (kebencuan)
c.       Sensitif dan hyperreactivity
d.      Memendam perasaan, penarikan diri, dan depresi
e.       Komunikasi yang tidak efektif
f.       Perasaan terkucil dan terasing
g.      Kebosanan dan ketidakpuasan kerja
h.      Kelelahan mental, penurunan fung
i.         intelektual, dan kehilangan konsentrasi
j.        Kehilangan spontanitas dan kreativitas
k.      Menurunnya rasa percaya diri

8.    Gejala Fisiologis
Gejala-gejala fisiologis yang utama dari stres kerja adalah :
a.       Meningkatnya denyut jantung, tekanan darah dan kecenderungan mengalami penyakit kardiovaskular.
b.      Meningkatnya sekresi dan hormon stress (contoh : adrenalin, dan nonoadrenalin)
c.       Gangguan gastrointestinal (misalnya : gangguang lambang)
d.      Meningkatnya frekuenis dari luka fisik dan kecelakaan
e.       Kelelahan secara fisik dan kemungkinan mengalami syndrome kelelahan yang kronis
f.       Gangguan pernapasan, termasuk  gangguan dari kondisi yang ada
g.      Gangguan pada kulit
h.      Sakit kepala, sakit punggung bagian bawah, ketegangan otot
i.        Gangguan tidur
j.        Rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk risiko tinggi kemungkinan terkena kanker.

9.    Gejala Perilaku
Gejala-gejala perilaku yang utama dari stres kerja adalah :
a.       Menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan
b.      Menunrunnya prestasi (performance) dan produktivitas
c.       Meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat-obatan
d.      Perilaku sabotase dalam pekerjaan
e.       Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan) sebagai pelampiasan mengarah  ke obesitas
f.       Perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk penarikan diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba, kemungkinan berkombinasi dengan tanda-tanda depresi
g.      Meningkatnya kecenderungan berperilaku berisiko tinggi, seperti menyetir tidak hati-hati dan berjudi
h.      Meningjatnya agresivitas, dan kriminalitas
i.        Menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman
j.        Kecenderungan untuk melakukan bunuh diri

10.    Dampak Stres Kerja Positif
Bila menghadapi stress, pola pikir kita harus dibalik, yang tadinya berdampak negatif dicari positifnya (disyukuri) karena dibalik kesukaran/stres akan ada kebahagiaan, tergantung pada keikhlasan yang menjalani.